!BACA&NGACA!
MARI BERCINTA DENGAN ILMIAH
In Esei on April 11, 2007 at 9:04 am
Menurut Franz Joluka, seorang Profesor Sejarah di Columbia University tingkat berkembangnya suatu per-adaban dan kemajuan suatu bangsa sangat ditentukan oleh pembudayaan bangsa tersebut dalam menerapkan pemikiran ilmiah dalam kehidupan sehari-hari. Jacob Walcot mengatakan dalam salah satu essay-nya “keruntuhan Uni Sovyet dan ber-akhirnya masa kejayaan romawi disebabkan menurunnya tingkat aktifitas berpikir ilmiah masyarakat”, dan hal ini juga di-kuatkan oleh Tesisnya Watson Smith yang mengatakan “bila suatu bangsa sudah terbiasa berpikir Ilmiah maka tingkat kemiskinan adalah hal yang anomali untuk ditemukan”.
Lalu apa itu berpikir Ilmiah? Menurut Joe Alan berpikir ilmiah adalah suatu pola penyelesaian masalah secara rasional dan objektif, dengan kata lain menghilangkan unsur subjektifitas dan melihat perkara secara netral dengan mengandalkan pendapat-pendapat para pakar, yang dipercaya telah melakukan penelitian, analisis dan melewati beberapa tahap kritik sehingga kandungan kebenarannya telah di-uji dan dipercaya. Analisis dan Argument yang mentah, yang hanya sekedar bersifat abstraksi sepihak yang di-utarakan secara subjektif justru menghilangkan ke-otentikan cara berpikir ilmiah tersebut.
Dan dalam usaha kedepannya pemikiran Ilmiah, yang bersifat analisis empirik dan lebih mengutamakan data kuantitatif dengan berbagai macam jenis penyelesaian statistika dapat menyelesaikan berbagai macam perkara multi dimensional yang ada di Indonesia ini dan menghilangkan mistisfikasi jalan keluar yang telah mengkerak menjadi mitos-mitos yang bersifat keterbelakang yang masih menjamur di Indonesia.
Menurut salah satu Dosen Filsafat Universitas Drikarya, Bapak Lele Tumbarunggu berpikir ilmiah dan analistis dengan segala piranti statistic dan analisis data kuantitatifnya dapat menyuburkan pangan, mendatangkan hujan, menurunkan harga barang, menyediakan lapangan kerja, memberantas korupsi, menggiling padi, menumpas maling bahkan tikus-tikus pemakan babi yang bertebaran diseluruh Indonesia. Dan menurut Ibu Jonaka, salah satu staff Ahli badan statistika Nasional, 80% orang yang berpikiran Ilmiah mempunyai otak tiga kali lipat lebih besar dibandingkan dengan orang yang berpikir argumentatif kritis, Sudjiwo Tejjo mengatakan dalam essaynya bahwa berpikir ilmiah sangat sehat untuk Janin Ibu dan Bayi yang baru lahir.
Hehe pasti awalnya pembaca menganggap serius dan melihat bahwa tulisan saya begitu cerdas dan begitu benar karena dipenuhi oleh pendapat para pakar-pakar yang namanya baru saya karang ketika menulis. Sebetulnya saya ingin mengatakan bahwa tulisan Ilmiah dan pendapat para pakar yang kita anggap jauh dari mitos justru telah menjadi mitos itu sendiri. Dengan kata lain, syarat refrensi untuk tulisan ilmiah (dalam refrensi-refrensi non-penelitian) telah men-sakralkan dan menurunkan tingkat kekritisan pembaca dalam refrensi tersebut. Aku kadang-kadang geli sendiri dengan ketidak-mandirian para penulis tipikal pemulung yang mencoba untuk mendefinisikan suatu kata, mereka memulung dan mengemis-ngemis satu pendapat pakar ke pendapat pakar lain se-akan-akan pendapat mereka tidak berharga sama sekali. Mereka harus mengumpulkan pendapat para ahli tentang definisi tersebut satu per satu lalu membuat konklusi, sangat diskriminatif sekali pendapat subjektif dan penalaran mereka seperti suatu ke-tabuan yang harus disembunyikan, otak mereka adalah dosa.
Oleh sebab itulah Skripsi bukanlah suatu karya melalui proses berpikir, terutama yang kuantitatif (karena karya kualitatif banyak mengembangkan argumentnya. Sayang kuantitatif sekarang ini tidak disertakan keleluasaan argument dalam membuat hipotesis), proses skripsi mirip seperti proses memulung. Jadi hampir tidak ada perbedaan antara Mahasiswa yang sedang mengerjakan skripsi dengan seorang pemulung yang lagi mungutin sampah.
Mahasiswa mengambil dan mengumpulkan pendapat-pendapat para ahli tentang definisi Variabel Bebas dan Terikat lalu memperhitungkan seluruh variable yang bisa mengganggu, pemulung mengambil dan mengumpulkan kaleng dan botol Aqua lalu menjaga pemulung-pemulung lain agar tidak mengambil jatahnya. Mahasiswa mencari aspek-aspek, faktor-faktor dan dinamika hubungan dari refrensi-refrensi, pemulung mencari sedotan, teh botol kosong dan bungkus Chiky dari tempat sampah. Mahasiswa menyimpulkan seluruh data yang didapatnya lalu membuat Hipotesis, pemulung menghitung dan menyimpulkan barang-barang apa saja yang sudah dikumpulkannya didalam karung lalu membuat perencanaan untuk bergegas. Mahasiswa mengambil data dan mengolahnya, pemulung mengambil karung dan menimbangnya. Hasil hitungan statistik keluar terlihat korelasinya lalu mahasiswa menutupnya dengan kesimpulan dan saran, pemulung menjual barang yang dikumpulkannya lalu bilang terimakasih dan menyarankan agar dikedepan harinya barang-barangnya dapat dihargai dengan lebih mahal. Lalu Mahasiswa pendadaran, lalu pemulung mempertanggung jawabkan penghasilannya ke-anak dan Istri.
Tidak ada proses berpikir sama sekali, pikiran hanya digunakan untuk menentukan judul dan memutar otak dimana letak materi-materi yang bisa mendukung judul tersebut, lalu mengolahnya dengan mesin statistic (alat kebenaran yang diwangsitkan Jibril kepada para ahli). Lalu keluarlah kebenaran tersebut! Yihie! Dan kalau andai kata kita ragu dengan kebenaran tersebut, kita harus melakukan percobaan ulang dengan memulung seluruh materi-materi yang dibutuhkan untuk kesimpulan tersebut lalu melewati proses memulung yang sama, lalu kalau tidak ada yang dipulung, ya rubah judul kalau tidak coba memulung diperpustakaan yang lebih besar. Dan ketika pendadaran tiba-tiba kita dirasuki oleh beratus-ratus tokoh masa lampau, Universitas mengajarkan kita untuk memakai otak orang untuk berpikir sementara kita sendiri punya otak, lalu kenapa harus pakai otak mereka, karena apa? Universitas itu pusat mitos. Mereka percaya kalau para ahli itu semacam dewa atau Naga, atau peri-peri Hutan yang memiliki sifat adimanusiawi. Dan ketika kita ber-argument dengan para ilmiahwan/wati untuk mengalahkannya mudah saja, keluarkan saja kata-kata dewa dan Naga mereka, mereka akan diam seribu bahasa seperti terkena senjata Konta milik Karna atau Pasopati milik Arjuna. Karena mereka itu sangat scientific, semakin ilmiah semakin mirip zombie, didalam otaknya yang ada hanya kata-kata orang lain, istilah-istilah dalam bahasa Inggris, Latin, Perancis dan Belanda, mereka memperlakukan bahasa-bahasa tersebut seperti mantera Babylon yang diturunkan Harud dan Marud.
Dan karena Frame berpikir masyarakat sekarang ini telah ditempa dengan wajib belajar 9 tahun, mereka menjadi ketularan dasar-dasar berpikir ilmiah. Dengan kata lain apa? Mereka sangat mudah sekali percaya pendapat-pendapat pakar, tentang apa yang baik dan apa yang buruk. Mereka percaya tentang statistik, sangking percayanya kadang jika terjebak mereka memalsukan konklusi statistik yang baru mereka buat dengan mengira-ngira (pernah satu kali ada orang yang sedang ber-argument dengan saya, dia menggunakan perbandingan statistik 10 banding 10, dengan kata lain perbandingan yang aksiomatik, tapi jumlah sample dan siapa yang diteliti bahkan siapa yang meneliti tidak pernah di-ungkapkannya. Padahal orang itu termasuk orang berpendidikan tinggi dan mempunyai posisi penting lho!). Jika nama pakar tersebut orang Indonesia mereka akan percaya dengan sedikit keragu-raguan dalam bahasa statistik validitas 0,7, ketika nama pakarnya orang asia tengah percaya tetapi tidak yakin, validitas 0,8, ketika orang barat mereka percaya mendekat yakin, validitas 0,9 dalam bahasa statistik. Dan validitas ini akan terus meningkat sesuai dengan ke-otentikan data, dengan kata lain setiap maju dari tahun 1999 validitas bertambah 0,01.
Itulah penyebabnya pendapat para ahli itu bagaikan pendapat para petapa dan manusia suci. “Menurut pendapat para ahli, manusia itu saudara dekatnya adalah simpanse, menurut pendapat para ahli kera itu lebih suka semangka daripada pisang, menurut pendapat ahli kecap bangau tetap nomor satu”
Laboraturium hadir sebagai rumah suci kebenaran, sunslik lahir dari rumah suci, Daia juga lahir dari rumah suci, yang dikelilingi orang-orang suci yaitu para ahli. Petapa Freud mengatakan bahwa anak ketika lahir ingin memenuhi Ibu-nya dengan Penis, dan kalian tau apa? Mereka mempercayakan omong kosong ini, karena Freud adalah para ahli. Menurut Freud, anak cemburu pada Ayah, menurut Freud menggigit ketika makan adalah insting agresi untuk membunuh, mengapa penghayal gila seperti ini yang ngomong ngelantur bisa lantas dipercaya begitu saja? Selain teknik asosiasi, katarsis dalam pandangan penyaluran energi, self-defence dan konsep alam bawah sadar dan tidak sadar banyak teori Freud yang lain mirip seperti dongeng hantu untuk menakut-nakuti anak kecil yang malas mandi atau susah tidur. Lantas mengapa mereka percaya? Karena mereka adalah tunas para ahli yang mencintai proses berpikir ilmiah, suatu proses berpikir yang meng-abadikan sampah-sampah pemikir kontemporer ini dalam ruangan nyaris bersifat aksiomatik. Karena itulah kegiatan Innovasi dan ide segar sulit sekali keluar tanpa dibantah oleh para fanatik berpikir ilmiah empirik, mereka menghalang-halanginya bukan demi rasional, tapi demi refrensi dan kebiasaan, demi ilmiah dan ke-objektifan. Demi Mitos.
Tulisan :
Dion Priatma.
In Esei on April 11, 2007 at 9:04 am
Menurut Franz Joluka, seorang Profesor Sejarah di Columbia University tingkat berkembangnya suatu per-adaban dan kemajuan suatu bangsa sangat ditentukan oleh pembudayaan bangsa tersebut dalam menerapkan pemikiran ilmiah dalam kehidupan sehari-hari. Jacob Walcot mengatakan dalam salah satu essay-nya “keruntuhan Uni Sovyet dan ber-akhirnya masa kejayaan romawi disebabkan menurunnya tingkat aktifitas berpikir ilmiah masyarakat”, dan hal ini juga di-kuatkan oleh Tesisnya Watson Smith yang mengatakan “bila suatu bangsa sudah terbiasa berpikir Ilmiah maka tingkat kemiskinan adalah hal yang anomali untuk ditemukan”.
Lalu apa itu berpikir Ilmiah? Menurut Joe Alan berpikir ilmiah adalah suatu pola penyelesaian masalah secara rasional dan objektif, dengan kata lain menghilangkan unsur subjektifitas dan melihat perkara secara netral dengan mengandalkan pendapat-pendapat para pakar, yang dipercaya telah melakukan penelitian, analisis dan melewati beberapa tahap kritik sehingga kandungan kebenarannya telah di-uji dan dipercaya. Analisis dan Argument yang mentah, yang hanya sekedar bersifat abstraksi sepihak yang di-utarakan secara subjektif justru menghilangkan ke-otentikan cara berpikir ilmiah tersebut.
Dan dalam usaha kedepannya pemikiran Ilmiah, yang bersifat analisis empirik dan lebih mengutamakan data kuantitatif dengan berbagai macam jenis penyelesaian statistika dapat menyelesaikan berbagai macam perkara multi dimensional yang ada di Indonesia ini dan menghilangkan mistisfikasi jalan keluar yang telah mengkerak menjadi mitos-mitos yang bersifat keterbelakang yang masih menjamur di Indonesia.
Menurut salah satu Dosen Filsafat Universitas Drikarya, Bapak Lele Tumbarunggu berpikir ilmiah dan analistis dengan segala piranti statistic dan analisis data kuantitatifnya dapat menyuburkan pangan, mendatangkan hujan, menurunkan harga barang, menyediakan lapangan kerja, memberantas korupsi, menggiling padi, menumpas maling bahkan tikus-tikus pemakan babi yang bertebaran diseluruh Indonesia. Dan menurut Ibu Jonaka, salah satu staff Ahli badan statistika Nasional, 80% orang yang berpikiran Ilmiah mempunyai otak tiga kali lipat lebih besar dibandingkan dengan orang yang berpikir argumentatif kritis, Sudjiwo Tejjo mengatakan dalam essaynya bahwa berpikir ilmiah sangat sehat untuk Janin Ibu dan Bayi yang baru lahir.
Hehe pasti awalnya pembaca menganggap serius dan melihat bahwa tulisan saya begitu cerdas dan begitu benar karena dipenuhi oleh pendapat para pakar-pakar yang namanya baru saya karang ketika menulis. Sebetulnya saya ingin mengatakan bahwa tulisan Ilmiah dan pendapat para pakar yang kita anggap jauh dari mitos justru telah menjadi mitos itu sendiri. Dengan kata lain, syarat refrensi untuk tulisan ilmiah (dalam refrensi-refrensi non-penelitian) telah men-sakralkan dan menurunkan tingkat kekritisan pembaca dalam refrensi tersebut. Aku kadang-kadang geli sendiri dengan ketidak-mandirian para penulis tipikal pemulung yang mencoba untuk mendefinisikan suatu kata, mereka memulung dan mengemis-ngemis satu pendapat pakar ke pendapat pakar lain se-akan-akan pendapat mereka tidak berharga sama sekali. Mereka harus mengumpulkan pendapat para ahli tentang definisi tersebut satu per satu lalu membuat konklusi, sangat diskriminatif sekali pendapat subjektif dan penalaran mereka seperti suatu ke-tabuan yang harus disembunyikan, otak mereka adalah dosa.
Oleh sebab itulah Skripsi bukanlah suatu karya melalui proses berpikir, terutama yang kuantitatif (karena karya kualitatif banyak mengembangkan argumentnya. Sayang kuantitatif sekarang ini tidak disertakan keleluasaan argument dalam membuat hipotesis), proses skripsi mirip seperti proses memulung. Jadi hampir tidak ada perbedaan antara Mahasiswa yang sedang mengerjakan skripsi dengan seorang pemulung yang lagi mungutin sampah.
Mahasiswa mengambil dan mengumpulkan pendapat-pendapat para ahli tentang definisi Variabel Bebas dan Terikat lalu memperhitungkan seluruh variable yang bisa mengganggu, pemulung mengambil dan mengumpulkan kaleng dan botol Aqua lalu menjaga pemulung-pemulung lain agar tidak mengambil jatahnya. Mahasiswa mencari aspek-aspek, faktor-faktor dan dinamika hubungan dari refrensi-refrensi, pemulung mencari sedotan, teh botol kosong dan bungkus Chiky dari tempat sampah. Mahasiswa menyimpulkan seluruh data yang didapatnya lalu membuat Hipotesis, pemulung menghitung dan menyimpulkan barang-barang apa saja yang sudah dikumpulkannya didalam karung lalu membuat perencanaan untuk bergegas. Mahasiswa mengambil data dan mengolahnya, pemulung mengambil karung dan menimbangnya. Hasil hitungan statistik keluar terlihat korelasinya lalu mahasiswa menutupnya dengan kesimpulan dan saran, pemulung menjual barang yang dikumpulkannya lalu bilang terimakasih dan menyarankan agar dikedepan harinya barang-barangnya dapat dihargai dengan lebih mahal. Lalu Mahasiswa pendadaran, lalu pemulung mempertanggung jawabkan penghasilannya ke-anak dan Istri.
Tidak ada proses berpikir sama sekali, pikiran hanya digunakan untuk menentukan judul dan memutar otak dimana letak materi-materi yang bisa mendukung judul tersebut, lalu mengolahnya dengan mesin statistic (alat kebenaran yang diwangsitkan Jibril kepada para ahli). Lalu keluarlah kebenaran tersebut! Yihie! Dan kalau andai kata kita ragu dengan kebenaran tersebut, kita harus melakukan percobaan ulang dengan memulung seluruh materi-materi yang dibutuhkan untuk kesimpulan tersebut lalu melewati proses memulung yang sama, lalu kalau tidak ada yang dipulung, ya rubah judul kalau tidak coba memulung diperpustakaan yang lebih besar. Dan ketika pendadaran tiba-tiba kita dirasuki oleh beratus-ratus tokoh masa lampau, Universitas mengajarkan kita untuk memakai otak orang untuk berpikir sementara kita sendiri punya otak, lalu kenapa harus pakai otak mereka, karena apa? Universitas itu pusat mitos. Mereka percaya kalau para ahli itu semacam dewa atau Naga, atau peri-peri Hutan yang memiliki sifat adimanusiawi. Dan ketika kita ber-argument dengan para ilmiahwan/wati untuk mengalahkannya mudah saja, keluarkan saja kata-kata dewa dan Naga mereka, mereka akan diam seribu bahasa seperti terkena senjata Konta milik Karna atau Pasopati milik Arjuna. Karena mereka itu sangat scientific, semakin ilmiah semakin mirip zombie, didalam otaknya yang ada hanya kata-kata orang lain, istilah-istilah dalam bahasa Inggris, Latin, Perancis dan Belanda, mereka memperlakukan bahasa-bahasa tersebut seperti mantera Babylon yang diturunkan Harud dan Marud.
Dan karena Frame berpikir masyarakat sekarang ini telah ditempa dengan wajib belajar 9 tahun, mereka menjadi ketularan dasar-dasar berpikir ilmiah. Dengan kata lain apa? Mereka sangat mudah sekali percaya pendapat-pendapat pakar, tentang apa yang baik dan apa yang buruk. Mereka percaya tentang statistik, sangking percayanya kadang jika terjebak mereka memalsukan konklusi statistik yang baru mereka buat dengan mengira-ngira (pernah satu kali ada orang yang sedang ber-argument dengan saya, dia menggunakan perbandingan statistik 10 banding 10, dengan kata lain perbandingan yang aksiomatik, tapi jumlah sample dan siapa yang diteliti bahkan siapa yang meneliti tidak pernah di-ungkapkannya. Padahal orang itu termasuk orang berpendidikan tinggi dan mempunyai posisi penting lho!). Jika nama pakar tersebut orang Indonesia mereka akan percaya dengan sedikit keragu-raguan dalam bahasa statistik validitas 0,7, ketika nama pakarnya orang asia tengah percaya tetapi tidak yakin, validitas 0,8, ketika orang barat mereka percaya mendekat yakin, validitas 0,9 dalam bahasa statistik. Dan validitas ini akan terus meningkat sesuai dengan ke-otentikan data, dengan kata lain setiap maju dari tahun 1999 validitas bertambah 0,01.
Itulah penyebabnya pendapat para ahli itu bagaikan pendapat para petapa dan manusia suci. “Menurut pendapat para ahli, manusia itu saudara dekatnya adalah simpanse, menurut pendapat para ahli kera itu lebih suka semangka daripada pisang, menurut pendapat ahli kecap bangau tetap nomor satu”
Laboraturium hadir sebagai rumah suci kebenaran, sunslik lahir dari rumah suci, Daia juga lahir dari rumah suci, yang dikelilingi orang-orang suci yaitu para ahli. Petapa Freud mengatakan bahwa anak ketika lahir ingin memenuhi Ibu-nya dengan Penis, dan kalian tau apa? Mereka mempercayakan omong kosong ini, karena Freud adalah para ahli. Menurut Freud, anak cemburu pada Ayah, menurut Freud menggigit ketika makan adalah insting agresi untuk membunuh, mengapa penghayal gila seperti ini yang ngomong ngelantur bisa lantas dipercaya begitu saja? Selain teknik asosiasi, katarsis dalam pandangan penyaluran energi, self-defence dan konsep alam bawah sadar dan tidak sadar banyak teori Freud yang lain mirip seperti dongeng hantu untuk menakut-nakuti anak kecil yang malas mandi atau susah tidur. Lantas mengapa mereka percaya? Karena mereka adalah tunas para ahli yang mencintai proses berpikir ilmiah, suatu proses berpikir yang meng-abadikan sampah-sampah pemikir kontemporer ini dalam ruangan nyaris bersifat aksiomatik. Karena itulah kegiatan Innovasi dan ide segar sulit sekali keluar tanpa dibantah oleh para fanatik berpikir ilmiah empirik, mereka menghalang-halanginya bukan demi rasional, tapi demi refrensi dan kebiasaan, demi ilmiah dan ke-objektifan. Demi Mitos.
Tulisan :
Dion Priatma.
Post a Comment
Terima Kasih atas kunjungan anda. Jika Anda COPAS Tolong cantumkan Link Sumber. Mohon gunakan kata-kata yang sopan dalam memberikan komentar.
Komentar SPAM, SARA dan sejenisnya tidak akan di tampilkan.
Jangan lupa tinggalkan jejak dengan berkomentar :)