Headlines News :
Home » » Psikologi Eksperimen : Tiga Teori Konektivisme Yang Pertama

Psikologi Eksperimen : Tiga Teori Konektivisme Yang Pertama

Written By Unknown on Friday, 25 March 2011 | 09:08

Sejak zaman yunani kuno, manusia sudah tertarik dengan kajian psikologi. Pada zaman itu para filosof telah merenungkan topik-topik yang sekarang dipandang sebagai kajian psikologi. Mulai abad ke-19 topik-topik tersebut mulai dikaji secara eksperimental. Laboratorium psikologi pertama didirikan oleh wilhelm wundt di jerman. Wundth dan rekan-rekannya di bidang psikologi ilmiah yang pertama terinspirasi oleh para filosof. Pada umumnya mereka tertarik oleh pengalaman sadar manusia. Para psikolog eksperimental yang pertama mengkaji masalah-masalah pemahaman sensasi, pikiran, perasaan manusia, perubahan kesadaran dan komponen-komponen dasarnya serta citra-citra dalam memori.
Teori Ivan Petrovich Pavlov
Pengondisian Pavlo
Ivan Petrovich Pavlov (1849-1936) adalah seorang behavioristik terkenal dengan teori pengkondisian asosiatif stimulus-respons. Hal ini yang dikenang darinya hingga kini. Ia menemukan bahwa ia dapat menggunakan stimulus netral, seperti sebuah nada atau sinar untuk membentuk perilaku (respons). Dalam hal ini, eksperimen yang dilakukan oleh pavlov menggunakan anjing sebagai subyek penelitian.

Berikut adalah tahap-tahap eksperimen dan penjelasan dari gambar diatas:

Dimana anjing, bila diberikan sebuah makanan (UCS) maka secara otonom anjing akan mengeluarkan air liur (UCR).
Jika anjing dibunyikan sebuah bel maka ia tidak merespon atau mengeluarkan air liur.
Sehingga dalam eksperimen ini anjing diberikan sebuah makanan (UCS) setelah diberikan bunyi bel (CS) terlebih dahulu, sehingga anjing akan mengeluarkan air liur (UCR) akibat pemberian makanan.
Setelah perlakukan ini dilakukan secara berulang-ulang, maka ketika anjing mendengar bunyi bel (CS) tanpa diberikan makanan, secara otonom anjing akan memberikan respon berupa keluarnya air liur dari mulutnya (CR).

Dalam ekperimen ini bagaimana cara untuk membentuk perilaku anjing agar ketika bunyi bel di berikan ia akan merespon dengan mengeluarkan air liur walapun tanpa diberikan makanan. Karena pada awalnya (gambar 2) anjing tidak merespon apapun ketika mendengar bunyi bel.

Jika anjing secara terus menerus diberikan stimulus berupa bunyi bel dan kemudian mengeluarkan air liur tanpa diberikan sebuah hadiah berupa makanan. Maka kemampuan stimulus terkondisi (bunyi bel) untuk menimbulkan respons (air liur) akan hilang. Hal ini disebut dengan extinction atau penghapusan.

Pavlov mengemukakan empat peristiwa eksperimental dalam proses akuisisi dan penghapusan sebagai berikut:

Stimulus tidak terkondisi (UCS), suatu peristiwa lingkungan yang melalui kemampuan bawaan dapat menimbulkan refleks organismik. Contoh: makanan.
Stimulus terkondisi (CS), Suatu peristiwa lingkungan yang bersifat netral dipasangkan dengan stimulus tak terkondisi (UCS). Contoh: Bunyi bel adalah stimulus netral yang di pasangkan dengan stimulus tidak terkondisi berupa makanan.
Respons tidak terkondisi (UCR), refleks alami yang ditimbulkan secara otonom atau dengan sendirinya. Contoh: mengeluarkan air liur.
Respos terkondisi (CR), refleks yang dipelajari dan muncul akibat dari penggabungan CS dan US. Contoh: keluarnya air liur akibat penggabungan bunyi bel dengan makanan.
Eksitasi dan Inhibisi
Pengondisian bisa dijelaskan oleh kegiatan timbal balik dua proses utama di otak, yaitu eksitasi dan inhibisi. Eksitasi ( excitation ) adalah proses pembangkitan, proses yang cenderung membuat respon terjadi. Sedangkan inhibisi ( inhibition ) adalah proses penekanan yang cenderung mencegah terjadinya respon. Kedua kegiatan ini beroprasi dengan saling bertentangan. Diantara keduanya, eksitasi memainkan peran yang lebih besar dalam menciptakan pengondisian. Namun, inhibisi menjelaskan bagaimana berlangsungnya pengondisian dalam hal-hal yang khusus.
Eksitasi dan inhibisi menghasilkan efek yang bertolak belakang, kedua proses ini memiliki kemiripan. Sebagaimana eksitasi, ihibisi juga ber-iradiasi di atas korteks. Menurut Pavlov, interaksi di antara kedua proses tersebut menyebabkan berlangsungnya banyak hal dalam pengondisian. Inhibisi muncul dalam situasi di mana eksitasi menghasilkan efek yang berlebihan atau tidak sejalan. Salah satu contoh inhibisi adalah penghapusan atau ekstingsi (extinctio). Jika lonceng dibunyikan berulang-ulang tanpa diikuti diberikan makanan lagi, inhibisi akan terbentuk di korteks tempat stimulus berkondisi dan melemahkan respon berkondisi.
Aplikasi dan Implikasi
Pavlov yakin bahwa prinsip-prinsip pengkondisian bisa digunakan untuk menjelaskan bermacam-macam fenomena. Terutama mengaitkan prinsip-prinsip ini dengan kepribadian (personality), ia memandang bahwa salah satu hal yang paling fundamental yang menjadi pembeda di antara anjing- dan diantara manusia – adalah keseimbangan antara eksitasi dan inhibisinya. Pribadi-pribadi eksitatoris cenderung pada aktivitas-aktivitas yang tidak terlalu di kekang (’Kalau ragu, lakukan saja, lakukan apa saja!’), sementara pribadi-pribadi inhibitoris cenderung pada sikap tidak merespon(’Kalau kamu ragu-ragu, lebih aman janganlakukan apa-apa!’). Pada akhirnya Pavlov memandang konflik antara eksitasi dan inhibisi sebagai dasar gangguan saraf.
Banyak dari tambahan ke dalam sistem Pavlov tersebut yang berupa penemuan-penemuan mengenai hal-hal apa yang bisa berfungsi sebagai stimuli tidak berkondisi, berkondisi, dan respon. Salah satu contohnya adalah pengondisian interoseptif (interoceptive conditioning), di mana stimulus berkondisi atau stimulus tidak berkondisi, atau keduanya, langsung disampaikan ke salah satu organ dalam. Respon-respon yang terkondisi oleh stimulasi interoseptif seperti ini juga mengambilbentuk respon organ dalam atau pasokan darah. Sebagai contoh, air dingin sebagai stimulus tidak-berkondisi bisa membuat pembuluh darah di dinding perut menyempit, dan respon tidak-berkondisi ini kemudian bisa dilatih agar menjadi respon berkondisi terhadap stimulus berkondisi tertentu. Pengkodisian semacam ini membuahkan proses jasmani di bawah sadar, seperti berubahnya pasokan darah ke perut, di bawah kontrol stimulus berkondisi tertentu. Kadang-kadang stimulus berkondisi berupa kata-kata yang diucapkan oleh seseorang. Dalam kasus tersebut orang yang mengucapkan kata-kata itu menghasilkan respon di bawah kontrol sadarnya. Dengan begitu pengondisian interoseptif menawarkan bagaimana cara membuat proses jasmani di bawah sadar menjadi proses sadar.
Teori John B. Watson
Behaviorisme Watson
Perubahan kajian dari apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh manusia menuju apa yang yang dilakukan manusia itulah yang diupayakan oleh para psikolog amerika. Pergerakan ini diwakili oleh juru bicara John B. Watson (1878-1958) melalui upayanya membangun sistem yang radikal untuk meninggalkan kajian-kajian psikologi yang tradisional tersebut. Meninggalkan kajian-kajian tentang kesadaran dan mengkaji perilaku itulah yang dilakukan oleh para psikolog Amerika. Tahun 1913 Watson menerbitkan statmen formal pertama yanng menguraikan pendirian itu, pada sebuah artikel yang berjudul ’ Psikologi dalam Pandangan Behaviorisme’, hal ini yang menandai munculnya behaviorisme dalam revolusi psikologi.
Hal ini dikatakan behaviorisme karena Watson hanya tertarik pada perilaku, bukan pada pengalaman sadar. Perilaku (behaviorisme) menurut Watson tidak lebih rumit dari sekedar pergerakan otot-otot. Penentangan watson yang tidak menerima segala hal yang subjektif ke dalam psikologi telah menuntut dirinya menolak lebih dari sekedar studi tentang kesadaran. Target lain yang ia tolak adalah motivasi sebagai hal yang terkait dengan insting. Menurut pandangan Watson, instingterlalu mentalistiksifat-sifatnya. Ia menegaskan bahwa perilaku, di sisi lain, adalah persoalan mengenai refleks-refleks yang dikondisikan, yakni mengenai respon-respon yang dipelajari melalui apa yang dewasa ini disebut pengkondisian klasik. Kita menunjukkan sosiabilitas atau agresi bukan karena kita terlahir dengan insting utuk itu melainkan kita pembelajaran melakukan hal itu melalui pengkondisian.
Upaya Watson menghancurkan teori-teori melebar bukan hanya sampai ke insting melainkan sampai ke ciri-ciri mental lainnya yang dianggap bawaan manusia. Watson menyangkal bahwa manusia terlahir dengan kemampuan mental atau watak tertentu. Yang kita warisi hanyalah tubuh kita dan sedikit refleks, perbedaan dalam hal kemampuan dan kepribadian hanyalah perbedan perilaku yang dipelajarinya. Secara praktis tiadak ada batasan mengenai akan seperti apa jadinya seseorang jika dikondisikan secara tepat.
Pembelajaran dalam Interpretasi Watson
Watson memandang semua pembelajaran sebagai pengondisian klasik. Kita terlahir dengan koneksi-koneksi stimulus-respon yang disebut sebagai refleksi. Kita bisa membangun berbagai koneksi stimulus-respon yang baru melalui proses pengkondisian. Jika sebuah stimulus baru terjai berbarengan dengan stimulus bagi rewspon refleks, setelah beberapa kali berpasangan seperti itu maka stimulus yang baru itu sendiri saja akan menghasilkanrespon. Proses pengondisian ini, mungkin setiap respon dalam perbendaharaan refleks bawaan untuk muncul ketika ada stimulus bsru selain yang semula memunculkannya. Hal inilah yang menurut watson merupakan cara kita belajar merespon situasi-situasi baru.
Bagaimanapun juga, pengkondisian semacam itu hanya bagian dari proses pembelajaran.Kita bukan hanya harus belajar merespon situasi-situasi baru, melainkan kita juga harus mempelajari respon-respon itu.Pembentukan rangkaian semacam ini dimungkinkan karena masing-masing respon menghasilkan sensasi otot yang menjadi stimuli bagi respon berikutnya. Dengan demikian perilaku baru yang kompleks diperoleh melalui kombinasi berurutan dari refleks-refleks yang sederhana.
Watson juga mengemukakan bentuk pembelajaran melalui dua prinsip yaitu frekuensi dan resensi. Prinsip frekuensi menyatakan semakin sering kita melakukan sesuaturespon terhadap stimulus tertentu, semakin cenderung kita menjadikan respon tersebut sebagai stimulus lagi. Begitu pula, prinsip resensi menyatakan bahwa semakin baru atau terkini kita melakukan respon terhadap stimulus tertentu, semakin cenderung kita melakukannya lagi. Apa yang membuat kita bisa belajar hubungan stimulus dan respon adalah semata-mata karena keduanya berlangsung beriringan. Karena itulah Watson disebut sebagai seorang teoritas kontiguitas, yakni bahwa pembelajaran bisa dihasilkan melalui keberiringan belaka, tanpa pengutan.
Jenis-jenis pembelajaran Khusus
Watson mengakui adanya peran pewarisan melalui keturunan atau hereditas, di samping pengakuanya yang sudah atas adanya refleks-refleks bawaan. Ia mengemukakan ada tiga pola reaksi emosional yang berifat bawaan.Pola-pola reaksi ini lebih kompleks dari pada refleks pada umumnya. Tiga pola reaksi emosional itu pada pokoknya adalah takut, marah dan cinta. Ketiganya merujuk pada pola-pola gerak bukan pada perasaan-perasaan sadar.
Pembelajaran emosi berwujud pengkondisian ketiga pola respon emocional ini terhadap stimuli baru.Watson menyatakan bahwa semua perilaku kita cenderung untuk melibatkan seluruh bagian tubuh. Kita berpikir, kita mungkin mengetuk-ngetukan kaki ke lantai atau mengerutkan keningkita. Kita mengungkapkan pendapat dengan menggerakkan tangan atau tersenyum selai dengan kata-kata. Segala hal yanng yang kita pikirkan, rasakan, katakan, atau kerjakan dalam berbagai kadarnya melibatkan aktivitas segenap tubuh. Ini barangkali yang menjadi doktrin fundamental behaviorisme.
Evaluasi terhadap Teori Watson
Kontribusi utama Watson bagi perkembangan psikologi adalah penolakanya terhadap pembedaan antara antara tubuh dan pikiran dan penekanannya pada studi perilaku objektif. Sama halnya dengan teori-teori lain memusatkan perhatian pada perilak objektif, minat yang kuat pada studi-studi hewan, kecendrungan pada analisis stimulus-respon, dan konsentrasi pada pembelajaran sebagai psikologi. Hal ini yanhg menjadikan watson dari segio tertentu sebagai bapak intelektual. Namun, sistem teori Watson jauh dari komplet dalam menangani problem-problem mendetail dalam hal pembelajaran. Dalam membangun psikologi yang objektif, ia agaknya lalai dengan persoalan yang sistematis yang lengkap dan logis. Semangatnya dalam membebaskan psikologi dari subjektivisme dan kepercayaan pada kecendrungan bawaan tidak bisa dibandingkan dengan masalah kekompletan teori.
Teori Edward L. Thorndike
Edward L. Thorndike (1874-1949) adalah salah seorang penganut paham psikologi tingkah-laku. Berdasarkan hasil percobaannya di laboratorium yang menggunakan beberapa jenis hewan, ia mengemukakan suatu teori belajar yang dikenal dengan teori “pengaitan” (connectionism). Teori tersebut menyatakan bahwa belajar pada hewan dan manusia pada dasarnya berlangsung menurut prinsip yang sama yaitu, belajar merupakan peristiwa terbentuknya ikatan (asosiasi) antara peristiwa-peristiwa yang disebut stimulus (S) dengan respon (R) yang diberikan atas stimulus tersebut. Stimulus adalah suatu perubahan dari lingkungan eksternal yang menjadi tanda untuk mengaktifkan organisme untuk beraksi atau berbuat, sedangkan respon adalah sembarang tingkah laku yang dimunculkan karena adanya perangsang. Asosiasi yang demikian itu disebut ”bond” atau ”connection”. Dalam hal ini, akan akan menjadi lebih kuat atau lebih lemah dalam terbentuknya atau
hilangnya kebiasaan-kebiasaan. Oleh karena itu, teori belajar yang dikemukakan oleh Thorndike ini sering disebut dengan teori belajar koneksionisme atau teori asosiasi. Dengan adanya pandangan-pandangan Thorndike yang memberikan sumbangan cukup besar di dunia pendidikan tersebut, maka ia dinobatkan sebagai salah satu tokoh pelopor dalam psikologi pendidikan.
Selain hukum-hukum di atas, Thorndike juga mengemukakan konsep transfer belajar yang disebutnya transfer of training. Konsep ini maksudnya adalah penggunaan pengetahuan yang telah dimiliki siswa untuk menyelesaikan suatu masalah baru, karena di dalam setiap masalah, ada unsur-unsur dalam masalah itu yang identik dengan unsur-unsur pengetahuan yang telah dimiliki. Unsur-unsur yang identik itu saling berasosiasi sehingga memungkinkan masalah yan dihadapi dapat diselesaikan. Unsur-unsur yang saling berasosiasi itu membentuk satu ikatan sehingga menggambarkan suatu kemampuan. Selanjutnya, setiap kemampuan harus dilatih secara efektif dan dikaitkan dengan kemampuan lain
Selain itu, bentuk belajar yang paling khas baik pada hewan maupun pada manusia menurutnya adalah “trial and error learning atau selecting and connecting learning” dan berlangsung menurut hukum-hukum tertentu. Eksperimennya yang terkenal adalah dengan menggunakan kucing yang masih muda dengan kebiasaan-kebiasaan yang masih belum kaku, dibiarkan lapar; kemudian dimasukkan ke dalam kurungan yang disebut ”problem box”. Dimana konstruksi pintu kurungan tersebut dibuat sedemikian rupa, sehingga kalau kucing menyentuh tombol tertentu pintu kurungan akan terbuka dan kucing dapat keluar dan mencapai makanan (daging) yang ditempatkan di luar kurungan itu sebagai hadiah atau daya penarik bagi si kucing yang lapar itu. Pada usaha (trial) yang pertama, kucing itu melakukan bermacam-macam gerakan yang kurang relevan bagi pemecahan problemnya, seperti mencakar, menubruk dan sebagainya, sampai kemudian menyentuh tombol dan pintu terbuka. Namun waktu yang dibutuhkan dalam usaha yang pertama ini adalah lama. Percobaan yang sama seperti itu dilakukan secara berulang-ulang; pada usaha-usaha (trial) berikutnya dan ternyata waktu yang dibutuhkan untuk memecahkan problem itu makin singkat. Hal ini disebabkan karena pada dasarnya kucing itu sebenarnya tidak mengerti cara membebaskan diri dari kurungan tersebut, tetapi dia belajar mempertahankan respon-respon yang benar dan menghilangkan atau meninggalkan respon-respon yang salah. Dengan demikian diketahui bahwa supaya tercapai hubungan antara stimulus dan respons perlu adanya kemampuan untuk memilih respons yang tepat serta melalui usaha–usaha atau percobaan-percobaan (trials) dan kegagalan-kegagalan (error) terlebih dahulu.

Percobaan tersebut menghasilkan teori “trial and error” atau “selecting and conecting”, yaitu bahwa belajar itu terjadi dengan cara mencoba-coba dan membuat salah. Dalam melaksanakan coba-coba ini, kucing tersebut cenderung untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan yang tidak mempunyai hasil. Setiap respons menimbulkan stimulus yang baru, selanjutnya stimulus baru ini akan menimbulkan respons lagi, demikian selanjutnya.

Thorndike mengemukakan bahwa terjadinya asosiasi antara stimulus dan respon ini mengikuti hukum-hukum berikut:

(1) Hukum kesiapan (law of readiness), hukum ini pada intinya menyatakan bahwa belajar akan berhasil apabila peserta didik benar-benar telah siap untuk belajar. Dengan perkataan lain, apabila suatu materi pelajaran diajarkan kepada anak yang belum siap untuk mempelajari materi tersebut maka tidak akan ada hasilnya.

Sumber : Klik Ini
Share this post :

Post a Comment

Terima Kasih atas kunjungan anda. Jika Anda COPAS Tolong cantumkan Link Sumber. Mohon gunakan kata-kata yang sopan dalam memberikan komentar.
Komentar SPAM, SARA dan sejenisnya tidak akan di tampilkan.
Jangan lupa tinggalkan jejak dengan berkomentar :)

 
Support : Jadwal Training 2016 | Informasi Training dan Seminar Indonesia | Mas Template
Copyright © 2011. WWW.SINTANG.COM - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger