Muhammad Ainun Nadjib | Tulisan ini adalah pengantar pada acara Diskusi Bareng di Perpustakaan KPK, Jumat, 13 Juni 2008.
Sangat tidak mudah mengambil keputusan apakah korupsi adalah milik
para koruptor ataukah milik kita bersama. Juga tidak gampang mengukur
kadarnya sebagai “penyakit sistem” (struktural), sebagai “penyakit
manusia”, atau “penyakit budaya” suatu masyarakat yang berada dalam
sistem yang sama. Ia sangat cair, seakan-akan merupakan serbuk yang rata
menabur, atau bagaikan asap halus yang tak kasat mata, sehingga tidak
bisa serta merta bisa disimpulkan bahwa perilaku korupsi adalah semacam
anomali atau penyakit khusus yang berlaku pada sejumlah orang, ataukah
ia memiliki “infrastruktur” budaya yang memang mendarah daging secara
lebih menyeluruh pada kehidupan masyarakat kita.
Darah daging itu bisa jadi tak hanya berskala budaya atau kebudayaan,
bisa jadi ia sudah merupakan peradaban. Terutama apabila disepakati
bahwa korupsi materiil hanyalah salah satu output “kecil” dari
dasar-dasar jiwa korupsi yang juga bisa menemukan manifestasinya pada
perilaku lain, pada pola berpikir, cara pandang, cara memahami, cara
merasakan, bahkan cara memahami dan melaksanakan iman. Tak pernah
berhenti kita bertanya: di kedalaman jiwa manusia, apakah korupsi itu
peristiwa mental, peristiwa ilmu, peristiwa akhlak, peristiwa iman, atau
apa?
Kalau sudah sampai ke kompleksitas itu, kita yang di panggung
berteriak “Wahai Kaum Koruptor…” tidak otomatis kita sendiri bukan
koruptor. Atau kekhusyukan seseorang dalam beribadah, status mulia
seseorang dalam kegiatan keagamaan, citra bersih seseorang dalam imaji
publik – tidak serta merta mengandung arti bahwa yang bersangkutan
berada di luar lingkaran, jaringan dan sistem korup. Bahkan kita yang
bertugas memberantas korupsi, perlu mengaktifkan terus menerus
kewaspadaan diri untuk menjamin bahwa dalam berbagai konteks dan nuansa
itu langkah-langkah kita benar-benar bebas dari potensialitas korupsi.
Apalagi sejumlah pagar eksternal atau internal yang tak selalu bisa kita
atasi membuat langkah-langkah kita tampak di mata orang lain sebagai
“tebang pilih”.
Teknologi Eksternal dan Teknologi Internal
Saya ingin menyebut sebuah term: “Teknologi Internal”. Ada jenis
manusia atau masyarakat yang kecenderungannya adalah “mengelola dunia
luar” dan itu kita sebut “Teknologi Eksternal”. Ada jenis manusia atau
masyarakat lain yang lebih sibuk “mengolah dunia dalam” dirinya sendiri:
mentalnya, manajemen hatinya, rekayasa berpikir subyektifnya. Itu
“teknologi internal”.
Ada hipotesis yang mengindikasikan bahwa “teknologi internal” adalah
semacam tipologi, unikum atau karakteristik kemanusiaan atau budaya
masyarakat di wilayah sepanjang Nusantara. Pelan-pelan, berikut ini,
mudah-mudahan saya punya kemampuan untuk menjelaskan apa yang sebenarnya
dimaksud dengan “teknologi internal”.
Perkembangan peradaban global abad 20-21 adalah puncak eksplorasi
“Teknologi Eksternal”: meneliti, menganalisis, menyimpulkan,
mengaplikasikan ke wilayah eksternal segala hal yang membuat kehidupan
manusia lebih “maju” dan “mudah”. Muncullah gedung-gedung,
pabrik-pabrik, alat-alat di bidang apa saja di wilayah kehidupan yang
manapun saja. Tidak hanya transportasi yang ajaib dan dunia maya yang
‘wingit’, tapi bahkan kekhusyukan shalatpun mengandalkan rekayasa
teknologi eksternal. Seluruh pemandangan metropolitan Jakarta Raya ini
sangat menggambarkan produk “teknologi eksternal”.
Sementara “Teknologi Internal” adalah suatu inisiatif mental,
didukung oleh aktivitas emosi dan sedikit intelektual, di mana untuk
maju dan mudah, manusia mengandalkan pengaturan, pengolahan, eksplorasi,
atau manipulasi mental di dalam dirinya. Untuk makan enak tidak
tergantung jenis dan mahalnya makanan, melainkan bergantung pada cara
kita menganggap dan memperlakukan makanan apa saja yang ada. Demikian
juga berbagai soal lain di luar makanan. Di dalam budaya Jawa ada kata
“mupus”: menganggap tak ada sesuatu yang bikin pusing tapi tak pernah
bisa diselesaikan. Penderitaan berkepanjangan oleh kemiskinan struktural
oleh rakyat cukup dijawab dengan “Gusti Allah mboten sare”. Tuhan tidak
tidur.
Puluhan juta keluarga bisa hidup tanpa rasionalitas ekonomi, gaji tak
cukup untuk makan keluarga tapi kredit motor, tak ada kerjaan tapi
merokok sambil main catur, kalau ditanya bagaimana makan minum
keluargamu, mereka menjawab: “Bismillah, Cak”. Ahli Statistik di belahan
bumi sebelah manapun tidak pernah mencatat dan makanan utama Bangsa
Indonesia adalah bismillah. Dan sesungguhnya apa yang terkandung di
balik “bismillah” itu adalah kelonggaran-kelonggaran sistem budaya
korupsi di berbagai celah kehidupan yang memungkinkan mereka tetap bisa survive.
Rakyat Indonesia berteriak beberapa hari oleh kenaikan BBM, penjualan
asset-asset Negara dan jenis-jenis kebobrokan lain yang dilakukan oleh
Pemerintah, kemudian mereka berduka satu dua bulan, akhirnya “mupus”,
memproklamasikan “Tuhan tidak tidur”, dan kembali “ubet” lagi, “iguh”
lagi: menjalani penghidupan sekeluarganya dengan amat sangat mandiri,
tanpa ketergantungan yang signifikan dan tidak perduli-perduli amat
kepada parpol apa yang memerintah, Presidennya Bima, Arjuna, Gareng,
Bagong, Limbuk, atau Buto Kempung dan Bethoro Kolo….
Sesekali berkhayal: Presiden kita besok harus Puntadewa alias Yudhistira yang berdarah putih, tak punya ambisi, berani kehilangan apapun demi cinta kepada rakyat dan kebenaran sejati. Tetapi kalau di saat fajar ada serangan Rp 20 ribu, ya tak apa bermurah hati mencoblos calon yang menyebar uang itu. Adakah bangsa lain di muka bumi yang tangguh dan cuek-nya melebihi “Bangsa Nusantara”?
Pupusnya Denotasi, Maraknya Konotasi
Salah satu keluaran dari kebiasaan teknologi internal adalah pupusnya
denotasi. Manusia dan masyarakat Indonesia hidup dalam
konotasi-konotasi: sesuatu tidak dimaksudkan sebagai sesuatu itu sendiri
sebagaimana ia adanya. Setiap kata, setiap perbuatan, setiap langkah
dan keputusan, setiap jabatan dan fungsi, selalu tidak berkenyataan
sebagaimana substansinya, melainkan ada tendensi, pamrih, maksud
tersembunyi, “udang dibalik batu” atau apapun namanya — di belakangnya.
Kalau ia berlaku pada denotasi penderitaan dikonotasikan sebagai
“tabungan akhirat”, pada “tempe” dianggap “daging”, pada “kegagalan”
disebut “sukses yang tertunda”, “kelemahan” disebut “kesabaran”,
“kebodohan” dibilang “kerendahan hati”, “kemiskinan” dikonotasikan
sebagai “suratan takdir” – maka masih bisa menguntungkan survivalisme
para penderitanya. Mereka bertahan hidup berkat kepandaian menciptakan
konotasi-konotasi, Pemerintah selalu beruntung karena tingkat kemiskinan
dan penderitaan sedahsyat apapun tak mungkin melahirkan pemberontakan
total atau revolusi.
Tetapi kalau yang berlaku adalah denotasi “mencuri uang Negara”
dikonotasikan sebagai “jasa bagi keluarga”, “korupsi” menjadi
“kelapangan peluang untuk kedermawanan sosial”, denotasi merampok dan
melacur itu boleh asalkan konotasinya adalah “jihad Agama”, malak pabrik
narkoba itu halal asal konotasinya ada prosentase untuk “pembangunan
Masjid”, denotasi “uang narkoba” batal demi konotasi “pembelaan Islam” –
maka kebenaran, Agama, dan denotasi apapun tak akan mengalami
kehancuran – karena satu-satunya yang bisa hancur hanya kehidupan
manusia.
Sindroma Garuda-Emprit
Agar supaya kita tidak terlalu “bersedih” atas “kepastian” untuk
semakin hancur, perkenankan saya pergi jauh ke belakang sejarah bangsa
Indonesia kita.
Untuk itu “iseng-iseng” kita mempertanyakan siapa itu “Bangsa
Indonesia”. Dengan asumsi sederhana bahwa kalau orang tak mengenal
dirinya, maka ia tak tahu tempatnya, kalau tak tahu tempatnya juga pasti
tak mengerti ke mana akan melangkahkan kakinya. Kita berendah hati saja
untuk sedikit mengakui bahwa segala keributan dan kebobrokan yang kita
alami 10-20 tahun terakhir ini siapa tahu sekadar kasus orang yang
memang tak kenal siapa dirinya. Orang yang dirinya saja ia malas
mengenalnya, maka agak mustahil ia punya energi untuk mendiagnosis apa
penyakit yang sedang dideritanya. Dan kalau tak ada diagnosis yang
tepat, mustahil pula ia akan bisa menyembuhkan diri dari penyakitnya.
Mungkin kita ‘terpaksa’ harus melewati sejumlah relativitas pemahaman
atas beberapa hal. Misalnya, sebelum “ada” Bangsa Indonesia, ada
“Masyarakat Nusantara”, yang harus diperdebatkan terlebih dulu apakah ia
“Rumpun Melayu”, “Masyarakat Jawi”, “Bangsa-bangsa Timur” dst.
Juga sebutan “Jawa” atau “Melayu” berbeda pengertian dan skala
faktualnya bergantung satuan waktu yang dipakai: setelah ada NKRI
berbeda dengan 5 abad silam, juga berbeda dengan kurun “Ajisaka” 20-an
abad silam. Kita harus menunggu puluhan atau ratusan tahun riset
antropologis-historis, bahkan penelitian arkeologi dan sejumlah disiplin
lain yang lebih mendasar dan akar.
Kita mulai “iseng-iseng” ini dari sejumlah pertanyaan (yang boleh
jadi mengandung substansi-substansi yang tidak atau belum “benar”, tapi
belum juga bisa dibilang “salah”) misalnya:
Seberapa berbeda “Bangsa Indonesia”
dengan “Bangsa Nusantara”? Kita sebut saja keduanya sebagai “kita”.
Pertanyaannya: “kita” ini lahir pada 1945, ataukah “kita” yang
melahirkan 1945? Kalau “kita” yang melahirkan NKRI dengan penduduknya
yang kita sebut Bangsa Indonesia, maka tentunya “kita”lah juga yang
melahirkan Ray Pikatan, Sanjaya, Mataram Kuno, Kutai, Majapahit, Ken
Arok, Raden Wijaya, dan Gadjahmada, Borobudur dan paradigma Candi
Seribu. Kitalah fosil manusia tertua dalam sejarah umat manusia di dunia
di Sragen dan Mojokerto. Kitalah induk manusia (mungkin 6 generasi
sesudah Adam) yang merintis peradaban, sebelum dihancurkan oleh era demi
era sejarah primordialisme: sejak pewarisan kembali dendam Qabil-Habil,
berpuluh-puluh abad hingga primordialisme Quraisy-Baduwi, sampai hari
ini ada Suku Ahmadiyah, suku Gus Dur, dan suku Muhaimin.
Dari semua kata itu yang mana denotasi yang mana konotasi?
Yang menguasai keuangan internasional,
sistem global dan mekanisme pasar (: Neo-Liberalisme, IMF, Kongress AS,
Neomultinational dst) dewasa ini sepertinya hanya sejumlah prosentase
sangat kecil (1%?) dari jumlah penduduk dunia – yang seluruhnya adalah
keturunan Nabi Ismail dan Nabi Ishaq (kaum konglomerat Arab dan strategi
/stakeholders Yahudi) dengan induk Nabi Ibrahim. Sampai-sampai Kaum
Muslimin harus mengulang tafsir kenapa dalam bacaan Tahiyat Shalat
mereka salam kedamaian tak cukup disampaikan kepada Rasul Muhammad Saw
tapi juga shalawat dan berkah kepada Rasul Ibrahim As dan keluarganya.
Kalau omong IMF, mudah menerimanya sebagai denotasi, tapi kalau Ibrahim: asosiasi kita biasanya konotatif.
Adapun “Masyarakat Nusantara” ini
keturunan siapa? Bisakah dibilang keturunan Ibrahim atau bukan keturunan
Ibrahim? Apakah atau siapakah induk “gen” bangsa kita ini lebih muda
dari Ibrahim ataukah lebih tua? Misalnya Nabi Nuh As, itu orang Yahudi
atau Arab, atau Melayu Jawa?
Apakah tersedia energi mental dan intelektual kita untuk mewaspadai denotasi dan konotasi dari pertanyaan itu?
Bangsa Cina dan Bangsa India itu berada
pada garis Ishaq atau Ismail atau di luar itu? Masa depan kita di abad
21 ini mencadangkan Cina dan India sebagai “musuh yang pasti” dipandang
dari mata dan kepentingan keturunan Ismail-Ishaq — maka pasti harus ada
pola strategi jangka pendek menengah dan panjang terhadap “Bangsa
Nusantara”: NKRI harus dipastikan bisa dikuasai, ditunggangi,
dikendalikan, diatur, dengan terlebih dahulu memastikan bahwa NKRI harus
rapuh, terpecah belah, saling benci dan bermusuhan satu sama lain,
seperti yang terjadi hari ini. Dengan demikian NKRI akan dipande menjadi
Keris Nusantara untuk melawan Cina-India ketika saatnya nanti
diperlukan. Ini semua pertanyaan denotatif atau konotatif?
Kalau umpamanya ternyata “Bangsa
Nusantara” ini induknya lebih tua dari Ibrahim, maka mungkin perlu
dipertanyakan bahwa segala perangkat kemajuan sejarah yang kita pakai
sekarang ini “kulakan” pada klan Ismail-Ishaq, dan itu pasti akan
menjadi jebakan-jebakan kultural, psikososial dan politis, yang membuat
NKRI makin hari makin bunuh diri. Keadaan bangsa Indonesia saat ini demi
Allah tidak memerlukan Neoliberalisme, AS, Iblis dan siapapun dari luar
sana untuk hancur: bangsa Indonesia sudah berada pada “peak position”
untuk secara amat canggih sanggup menghancurkan dirinya sendiri. Kok
Iblis segala? Pernahkah Iblis dipahami oleh 20 abad peradaban manusia
secara denotatif? Ataukah kita sebut-sebut ia setiap saat dalam konotasi
semau-mau kita? Anda pikir Iblis ada hubungannya dengan Setan dan Jin?
Kalau dilihat dari posisi-kosmis,
kekayaan alam, keunggulan bahasa dan budaya, maka “Bangsa Nusantara”
yang sekarang bernukleus di NKRI tidaklah bisa diungguli oleh bangsa
manapun di muka bumi. Maka diampuni Allahlah Amangkurat-II yang
menyerahkan rakyat dan kedaulatannya kepada VOC, diampuni Allah semua
pelaku-pelaku sejarah Indonesia sejak 1945, Orla, Orba, Orde Reformasi,
yang dengan sangat cemerlang mampu mengubah “Garuda Perkasa Bangsa
Nusantara” hari ini menjadi “Emprit kerdil, cengeng, dan penakut”.
Sebenarnya kalau kita selalu mengatakan “Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar” itu denotatif atau konotatif?
Sebenarnya kalau kita selalu mengatakan “Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar” itu denotatif atau konotatif?
Ketangguhan Yang “Mencelakakan”
Baiklah. Kalaupun Bangsa Indonesia sekarang tak perlu sampai
memerlukan penglihatan diri sejauh ini, semoga sedikit berinisiatif pada
takaran normal saja sebagai manusia, sebagai masyarakat dan sebagai
bangsa – untuk memulai kemandirian, punya instink untuk ketat menjaga
martabatnya, untuk mulai percaya kepada dirinya dan kepada apa yang
sebenarnya bisa digapainya.
Kalau bangsa Indonesia tidak percaya bahwa ia besar, bahwa ia lebih
induk dan lebih besar dari bangsa-bangsa di dunia, serta tidak percaya
bahwa sesungguhnya ia punya filosofi, formula, teknologi, budaya dan
mekanisme kepemimpinan atas dunia secara lebih damai, hangat dan penuh
toleransi (masyarakat kita aslinya adalah Professor Doktor Toleransi
dengan tesis empiris cum laude) – maka mudah-mudahan ada sedikit
inisiatif kecerahan diri mengupayakan agar 2009 tidak menjadi “Perayaan
Kebodohan Edisi kesekian”, 2012 mencoba memastikan ada sejumlah klausul
kenegaraan dan hak milik yang membuat kita tidak lebih parah menjadi
budak bangsa lain, serta 2015 memproklamasikan “Keselamatan Minimal”
sebagaimana layaknya manusia hidup normal standard tanpa keunggulan dan
kehebatan.
Kalau flash-back di atas suatu hari dipelajari dan
direnungi, mungkin kesibukan berpikir keIndonesiaan kita sehari-hari
mengandung kadar pengetahuan dan substansi yang sedikit agak
fenomenologis dan paradigmatik. Kita bersabar dengan ilmu, dan menahan
diri tidak bicara atau bertindak apapun kalau tidak dilandasi
tanggungjawab ilmu. Bahkan yang membedakan keyakinan (iman) dengan
khayalan (klenik, mitologi, subyektivisme) adalah faktor ilmu.
Misalnya ada pertanyaan: kenapa segala penderitaan rakyat, kebobrokan
pemerintahan dan kekacauan keadaan bangsa kita tidak pernah cukup
menjadi syarat lahirnya sebuah revolusi yang mendasar, total, dan
sungguh-sungguh? Padahal penderitaannya lebih dari sungguh-sungguh,
kebobrokannya jauh melebihi ukuran kekebobrokan yang pernah dicatat oleh
sejarah kepemimpinan dan pemerintahan, serta kekacauannya sedemikian
rupa sehingga tak ada rakyat Negara manapun di muka bumi yang sanggup
berada di dalamnya?
Salah satu jawabannya: karena individu manusia Indonesia sangat
tangguh, tidak collapse oleh kesengsaraan bagaimanapun juga, bahkan
berulangkali sanggup menolong Negara untuk tidak collapse pada keadaan
yang secara teoritis dan seharusnya ia collapse.
Dan jawaban khusus untuk lembar acara hari ini adalah: karena bangsa
“kita” memiliki tradisi Teknologi Internal yang tidak dimiliki oleh
gen-gen bangsa lain. Dan paradigma itulah yang selama ini “mencelakakan”
kita.
Norma, Hukum, dan Moral
Tentu saja, bangsa dengan bakal internal-technology di era NKRI
sekarang ini tidak bisa sepenuhnya menerapkan keunggulan mentalnya:
bagaimana mungkin kita tak punya motor, mobil, rumah bagus, laptop, AC;
bagaimana mungkin kita mengelak dari arus besar kemewahan, hedonisme,
gebyar dan gemerlap… maka bakat internal-technology akhirnya tak sengaja
tergeser dan terterapkan ke wilayah-wilayah lain yang masih mengandung
ketidak-majuan dan ketidak-mudahan.
Dengan hasil korupsi, kita memperoleh berbagai kemudahan dan
kemajuan: bisa beli apa saja sebagaimana atau melebihi orang lain,
keluarga menganggap kita sukses, Pesantren dan Masjid yang kita bantu
menyimpulkan kita adalah dermawan, masyarakat melihat bahwa kita adalah
“orang yang benar”: buktinya punya jabatan, kaya, dan mau bersedekah
kepada mereka.
Tetapi ada sedikit pengetahuan yang sudah terlanjur nyantol di saraf
otak yang membuat ingatan bahwa kita korup itu menghasilkan sesuatu yang
tidak enak dalam hati dan tidak mudah di depan Tuhan. Maka tak cukup
bantu Pesantren dan Masjid, kita perlu umroh sesering mungkin, langsung
melakukan pendekatan kepada Tuhan. Sebenarnya sedikit-sedikit kita
merasa juga bahwa Tuhan tersinggung karena kita tuduh ia bisa kita sogok
dengan umroh atas dosa korupsi kita – tetapi karena demikianlah juga
yang dilakukan oleh banyak teman-teman Indonesia lain, maka kita menjadi
sedikit tenang.
Faktornya di sini, budaya kita lebih mengandalkan norma dibanding
hukum atau moral. Hukum dan moral itu nilai otonom dan pasti, sedangkan
norma itu bergantung kesepakatan atau kebiasaan banyak orang. Kalau
banyak orang menyuruh Ahmadiyah bubar dan banyak orang lain mengutuk
FPI, kita terdorong untuk memilih salah satu dan kemudian turut
mengacungkan tinju dan memekik-mekik.
Itulah norma. Sementara hukum itu “ilmu”, moral itu “ruh”. Mereka
yang hidup berdasar moral dan hukum, tidak melangkahkan kaki berdasarkan
arus norma atau kecenderungan orang banyak.
Alif Lam Mim, tuhan kita adalah norma. Kita lakukan apa saja yang
nge-trend, yakni segala gejala dan perilaku yang diterima dan dikerjakan
oleh orang banyak. Dari mode rambut, sinetron religi bulan Ramadlan,
demokrasi, otda pilkada, syariat non-gender, darmawisata umroh, wisata
kuliner hingga membubarkan Ahmadiyah dan FPI. Untuk bayar pajak saja
kita perlu alasan “Apa Kata Dunia, hare gene…”
Multikorupsi
Dulu Suharto bikin Keraton Kemusu, sempalan Nyayogyakartohadiningrat
dari tiga generasi sebelum yang sekarang. Keratonnya dikasih nama
Republik, baju kebesarannya sebagai Raja dikasih label Presiden, dengan
“uborampe” (kelengkapan basa-basi) mengumpulkan sekian ratus orang
menjadi dua kelompok yang dikasih papan nama “MPR” dan “DPR”, dan
akhirnya hanya seorang Raja yang jauh-jauh hari sudah merancang dan
membangun makamnya di sebuah bukit.
Kepresidenan Suharto adalah konotasi, karena denotasinya adalah Keraton.
Masyarakat tidak keberatan dengan “Keraton” berlabel “Republik” itu
karena jiwa raga mereka adalah “abdi dalem” dan “kawulo” sampai hari
ini. Dan sampai hari ini kaum intelektual juga tidak pernah mengakui
bahwa Orba adalah “Keraton”, karena diam-diam di dalam kandungan
mentalnya masih menyimpan rasa “andhap asor” atau inferioritas “kawulo”,
masih menyimpan mitologi subyektif untuk “takut” atau “segan”, juga
karena sejak semula mereka juga diam-diam berikhtiar bagaimana menjadi
“abdi dalem”. Kalau Sang Prabu Haryo Suharto tidak menerima lamaran
kita, baru kita tampil di media massa sebagai oposan.
Alhasil, view ini sekadar pintu awal untuk membuka kemungkinan besar
kenyataan yang perlu kita teliti dengan jujur bahwa kasus-kasus korupsi
yang dijaring KPK hanyalah sejumlah cipratan kecil dari budaya dan
peradaban korupsi. Bangsa kita terjebak dalam kesalahan manajemen
sejarah yang menggiring mereka melakukan korupsi sejak “dini”. Sebelum
uang dan harta Negara, kita sudah melakukan korupsi iman, ilmu, cara
berpikir, sejatinya isi hati, setiap jenis perilaku dari yang
sehari-hari kultural sampai yang kenegaraan dalam konstitusi dan
birokrasi.
Apa yang saya tulis ini bukan tuduhan, juga saya harap tidak menambah
persoalan. Ini sumbangan kewaspadaan, demi kebangkitan atau totalnya
kehancuran kita bersama. Tiap menjelang tidur, ambil satu kata kerja:
lihatlah seberapa “sungguh-sungguh” bangsa kita mengerjakan dan
memaksudkan “kata kerja” itu. Apakah kalau kita bilang “a” maka yang
kita kerjakan adalah “a”, dan kalaupun memang benar-benar kita kerjakan
“a”, apakah niat dan maksud kita sungguh-sungguh “a”. Itu boleh pada
perilaku sehari-hari, hingga urusan-urusan yang lebih besar: menjadi
pejabat, menjadi wakil rakyat, menjadi Ustadz, menjadi Presiden,
mengambil suatu keputusan nasional, dan apapun.
Kunci kehancuran kita sangat boleh jadi adalah: tidak atau kurang bersungguh-sungguh.
(Catatan: Term “teknologi internal” saya pinjam dari Noe/Letto dan sejumlah muatan lembar ini berasal dari diskusi dengannya.)
Sumber: Kenduricinta.com
Post a Comment
Terima Kasih atas kunjungan anda. Jika Anda COPAS Tolong cantumkan Link Sumber. Mohon gunakan kata-kata yang sopan dalam memberikan komentar.
Komentar SPAM, SARA dan sejenisnya tidak akan di tampilkan.
Jangan lupa tinggalkan jejak dengan berkomentar :)