Ditulis Oleh: Red/Progress
Dalam rangka Maiyahan di Hongkong hari Minggu besok, 21 April 2013, Jumat 19 April 2013 kemarin Cak Nun dan Mbak Via bertolak dari Jogja pukul 06.00 pagi lengkap dengan membawa lima koper besar berisi titipan para TKI di sana; ada kerudung-kerudung dan baju-baju seragam pesanan mereka disana serta pernak-pernik lainnya. Di Jakarta mereka tiba sekitar pukul 7:10 WIB untuk transit yang kemudian melanjutkan penerbangan pukul 10.10, dan sampai di Hongkong pukul 16.10 waktu setempat.
Sesampai di Hongkong International Airport, sudah ada Mbak Hanny dan Mbak Ning – yang telah menjadi TKI di Hongkong selama 14 tahun – datang menjemput, dan langsung untuk dibawa ke sekretariat Lembaga Dakwah Az-Zahra di Causebay. Sekitar pukul 18.00 sampai di Sekretariat Dakwah Az-Zahra, tempat menginap sampai beberapa hari ke depan.
Di sekretariat itu Cak Nun dan Mbak Via sudah kedatangan beberapa TKI. Mereka langsung menceritakan uneg-uneg-nya, ngobrol-ngobrol santai seperti sama Bapak sendiri, membicarakan soal-soal yang mereka hadapi selama di negeri orang.
Bikin Meja, Bukan Pidato Tentang Gergaji
Dari pengalaman selama ini, ustadz-ustadz yang hendak diundang untuk memberikan pengajian di Hongkong maunya dihubungi langsung ke manajernya, sekaligus untuk pembicaraan mengenai “angka”.
“Nuwun sewu. Kita nggak pernah lho ngomongin berapa-berapa. Maka, saya jangan sampai ketemu ustadz-ustadz yang ada di Jakarta dan yang sering muncul di televisi-televisi itu.Nggak apa-apa kalau mereka begitu, tapi nggak usah ketemu sama saya lah. Saya di sini ini bapakmu. Kalau hal-hal seperti ini tidak saya jelaskan, kayak gitu-gitu itu kan saya malu,” kata Cak Nun sambil menunjuk poster yang sudah disebar untuk acara Minggu nanti, “Wis rapopolah.”
Mbak Ning, TKI asal Kebumen yang bekerja secara freelance di bidang penjualan jasa penjemputan, guide, pindahan barang, dan sebagainya, menjelaskan bahwa di sini memang diperlukan yang seperti itu.
“Iya nggak apa-apalah, asal tahu saja bahwa saya ini bukan ustadz. Apa itu ustadz? Kowe diapusi. Ustadz itu, juga Kiai, nggak ada di Islam. Sekarang yang terjadi adalah podho ngapusi Islam. Ustadz, Kiai dijadikan profesi, pasang tarif, nyusahin orang kerja. Angel-angel nang Hongkong nyambut gawe malah diceramahi.”
“Ini mohon maaf, daripada kita nggak berguna. Mereka semua baik sama saya – ya ustadz-ustadz itu semua, tapi ya ndak usah ketemu saya. Bukan apa-apa, saya kan nggak mau ngomong gini di depan dia. Ya sudahlah kalau kamu mau cari makan di sana. Kan saya nggak mau basa-basi, jadi mending saya menghindar.”
“Kadang ada juga ustadz kalau yang diundang ke Hongkong kita benar-benar nego, kadang kita ngasih oleh-oleh, dia bilang ‘Ya sudah oleh-olehnya mentahan saja’, gitu katanya.” Lanjut Mbak Ning.
“Ini saya ngomong lebih sadis ya, lebih kejam,” jawab Cak Nun, “Sebenarnya kalian butuh apa toh dari pengajian-pengajian itu? Kalian sudah lebih baik kok. Emangnya orang harus pinter Quran? Kan nggak. Kamu berkelakuan baik, kamu jujur, kamu terampil kerja, itu sudah cukup. Sholat ya sudah belajar sholat, gitu thok.”
“Karena kita kan belajar dari Mbak Novi, dari awalnya kan kita begini, eh nggak tahunya terus begini. Oke kalau Sampeyan berdagang, kita beli. Jadi akhirnya kita nego. Kalau urusan lain, itu urusan Njenengan. Dan untuk hotel saya juga menyediakan cuma kebutuhan kita saja. Saya ingin ustadz datang Sabtu, Senin pulang lagi. kalaupun ustadz ingin pulang hari Rabu, Kamis, atau Jumat, itu sudah bukan tanggung jawab panitia. Kita akhirnya jadi begitu karena dari pengalaman,” Mbak Ning menjelaskan lebih lanjut.
“Aku ki wegahe ngurusi pengajian ki yo mergo ngono iku lho Dik.”
“Tahun kemarin, tahun 2012, kami nggak undang, kami stop sama sekali. Kalau kata wong Jowo, wis dikasih ati malah njupuk rempelo. Jadi ya dari pengalaman-pengalaman itu kita ambil yang kita bisa aja.”
“Saya sama Mbak Via itu bukan hanya tidak minta bayaran, tapi juga kita mbayari kalau di Indonesia. Saya bikin pengajian itu kami selenggarakan sendiri, tak bayari dhewe, tak ke’ihonor.”
“Kalau kita sistemnya gini,” tambah Mbak Via, “Ada 4 : infaq, semi infaq, semi profesional, dan profesional. Kalau perusahaan besar wajib mereka profesional.”
Cak Nun melanjutkan penjelasan dari Mbak Via, “Misale bank ngundang aku, itu harus profesional supaya bisa disubsidikan ke yang infaq, sebab yang infaq ini 70%. Kalau infaq itu murni sound system dan semuanya dari kita. Kalau semi infaq, mereka menyediakan sound system. Kalau semi profesional untuk perusahaan tapi bukan perusahaan besar. Ada 4 macam itu, dan angkanya tidak boleh keluar dari kita. Itu harus keluar dari pengundang. Kita nggak boleh mengeluarkan angka. Begitu Anda tanya Cak Nun itu tarifnya berapa, langsung kita tolak. Aku ki ora nggolek duit, iki titipane Gusti Allah, ora arep tak dol. Aku nyambut gawe nduwe coro dhewe, saya nggak akan makan dari situ. Mlarat juga nggak apa-apa, semua Nabi mlarat kok kecuali Nabi Sulaiman dan Nabi Yusuf.”
“Kalau dari pengalaman,” ujar Mbak Ning, “Sering mereka itu membawa kaset, CD, VCD sekian. Nah, kita harus menguangkan semua. Padahal itu kan nggak laku semua, jadi di sini numpuk-numpuk. Nah, dari situ kita belajar, jadi mau bawa kaset silahkan, tapi yang laku berapa, itu yang kami bayar. Sisanya silahkan bawa pulang.”
“Itu karena bukan permintaan ya. Kalau saya, ini saya bawa CD hanya karena sini yang minta. Ini ada 100-200, semua dari permintaan mereka,” cerita Mbak Via.
“Dan kita juga nggak akan menawarkan barang. Kalau kamu minta, kamu mau minta berapa, tak kasih. Nah mereka kan mintanya Mbak Via, CD-nya Mbak Via. Mereka tidak kenal saya kok.Az-Zahra itu tidak kenal saya nggak apa-apa. Nggak kenal itu, maksud saya, nggak kenal siapa sebenarnya saya, ngapain saja saya di Indonesia. Sebagian besar mereka kan menganggap saya ini ustadz. Aku sak jan-jane nek ora iso ngomong ngene iki yo sedih. Wong tadi waktu dari Jogja, orang-orang selalu manggil ustadz. Kowe nek ngundang ustadz atau kiai, sayanggak mau salaman.”
“Hidup jadi manusia saja susahnya nggak karu-karuan, kok mau ustadz-ustadzan. Sebab tak ada ustadz di dalam Islam, itu hanya karena semua jadi barang dagangan. Wali saja sekarang jadi barang jualan. Kalau saya ke sini ini bukan ke sekretariat ini, mungkin saya nggak akan ke sini. Wis aku tak turu ndhek kene. Kalau gini kan jadinya tidak membebani kalian, karena kalian juga tidurnya kan di tempat kerja masing-masing. Wis aku turu sak anane, aku ini anggap saja paklikmu, pakdhemu, atau mbahmu. Maka saya tidak membatasi diri. Acara pengajian biasanya kan 2 jam, tapi kalau kalian mau 5 jam, 7 jam, saya layani. Di 6 tempat di Indonesia itu kami sampai jam 3 atau 4 pagi.”
“Ustadz ki ngopo ceramah-ceramah, wong dhe’e ra ngerti kowe kok. Dari Jakarta, entah dia dari mana, dia nggak tahu bagaimana hidupmu, nggak ngerti bagaimana susahmu, nggakpaham problemmu, lalu tiba-tiba datang membawa nasihat. Memangnya dia tahu apa? Psikolog bukan, ahli kejiwaan bukan, ahli ilmu sosial bukan, memahami kebudayaan masyarakat juga tidak. Ngertinya hanya hadits ini ayat itu.”
“Ngaji itu ngaji kehidupan bukan ngaji ayat, dan itu datang dari jamaah. Ayat berguna kalau untuk kehidupan, jadi tidak tiba-tiba datang ngomong ayat. Kalau kehidupan yang sedang kamu bicarakan membutuhkan apa kata Tuhan, baru ayatnya keluar. Nek ustadz kan ora, teko nggowo ayat sik, lah sing kate mbadhog ayat ki sopo?”
Seperti dalam acara Maiyahan Minggu nanti, diberi judul ‘Tangguh’. Tangguh ini sangat luas pemaknaannya – kerja keras apapun tergantung permasalahannya.
“Jadi, istilahnya yang namanya ustadz itu kita undang, melayani kita?”
“Ya iyalah. Gini lho Dik, siapa yang membayari? Siapa juragannya? Mengapa kok mereka berlagak jadi majikan, wong mereka dibayar kok. Di mana-mana, orang yang dibayar itu yaburuh, yang membayar itu majikan.”
“Mulane aku ra gelem dibayar. Kalaupun ada share di antara kita, itu karena kita punya pemahaman bersama. saya ke sini ini bukan mau jualan. Mbak Via bawa CD itu juga karena diminta dari sini. Besok saya juga tidak membatasi, mau 8 jam juga ayok.”
“Kami memang butuh CD, kalau tidak butuh ya ngapain kita minta kan. Seperti juga seragam, kan kita minta tolong sama Mbak Via untuk mencarikan.”
“Bahkan kita tidak mampu memenuhi permintaan mereka. Misalkan baju, lah bagasine ra cukup. Ini pas 100 kilogram. Sebenarnya ngomong tangguh ini nggak usah susah-susah. Kalian semua itu tangguh Le, Ndhuk, kowe ki tangguh-tangguh. Mahasiswa sudah mulaigamoh, wis mulai getas nek coro Jawa Timur. Kalian itu kayu jati, kalau mereka itu trembesi-trembesi. Semakin tinggi jabatan orang, dia menjadi semakin tidak tangguh.”
“Sebenarnya itu yang harus disadari, kalian itu orang-orang tangguh. Semua orang di sana memang mempahlawankan TKW, tapi hanya dalam soal devisa. Mereka tidak memperhitungkan apakah berani menjadi TKW. Bupati memangnya berani menjadi ke pasar kayak TKW? Mereka tidak punya ketangguhan apa-apa, mereka kan bisanya merampok orang.”
“Juga ustadz, kamu pekerjakan untuk hal-hal yang kamu butuhkan, bukan hanya untuk memberi judul. Kamu ada masalah apa, kamu butuh apa, itu kalian himpun, dan mereka harus menguasai itu. Ibarat tukang kayu, kamu butuh meja, dia harus bikin meja. Bukannya datang untuk pidato tentang gergaji. Yang tangguh itu TKW/TKI. Kalian terhormat, kalian nggakmerepoti negara, nggak minta beasiswa, kalian nembus dhewe, ndaftar dhewe, itu yang namanya tangguh.”
Menemukan Ketepatan Bersedekah
Dalam kesempatan itu juga mereka ngobrol urusan sedekah, soal Dompet Dhuafa atau badan lain yang menghimpun sedekah dari orang-orang untuk disalurkan kepada yang berhak menerima.
“Logikanya di sini TKW bekerja, tapi mereka (Dompet Dhuafa) tinggal di tempat yang lebih enak daripada yang memberi sedekah di sini,” kata Mbak Via.
“Itu dari uangmu bekerja setengah mati. Bukannya kita tidak mau sedekah, tapi orang sedekah itu kan ada kualitasnya, ada mutunya. Kamu ngasih 1 juta kepada orang yang punya uang 10 juta, ya nggak ada gunanya. Tapi kamu ngasih sepuluh ribu saja kepada orang yang pas nggak bisa makan, itu manfaatnya ribuan kali lipat. Nah kamu bisa menemukan ketepatan seperti itu.”
“Kalau kamu serahkan kepada mereka, siapa yang menjamin kualitas sedekahmu? Siapa yang menjamin bahwa uangmu akan disampaikan kepada 8 asnaf? Jadi kalau misalnya saya diberi hak untuk menentukan apakah harus ngasih sedekah ke Dompet Dhuafa atau tidak, saya bilang: Jangan. Wis kalian mau wakaf sama siapa, orang yang kamu percaya di kampungmu. Kalau kamu kasih tanah atau bangun masjid untuk PKS, nanti malah direbut sama LDII, sama Persis – nah malah jadi bahan pertengkaran. Kalau kamu belum menemukan 8 asnaf yang tepat menurut hitunganmu sendiri, kamu simpan dulu uangnya. Bikin 2 rekening, satu untuk menghimpun rencana infaq, satu untuk keluarga atau pribadi.”
Mbak Via menceritakan mekanisme yang dijalankan salah satu ustadz yang cukup terkenal dengan metode sedekah-nya. Kalau ingin naik haji nggak punya duit, disuruh menyerahkan yang mereka punyai, nanti diganti berlipat-lipat. Itu langsung mengisi formulir. Ada yang menyerahkan kunci mobil juga.
“Itu kan saking gobloknya orang Indonesia. Gitu itu kan orang nggak punya harga diri. Masak saya kasih nasihat ke Anda, kalau di Indonesia itu banyak orang miskin, terus Anda ngasih uang ke saya untuk saya kasih ke mereka. Saru toh. Selama ini kan saya selalu mempertemukan orang yang butuh kepada orang yang bisa memenuhi. Itu berlaku di segala bidang, apa itu urusan orang kecil, apa itu soal kerjaan, soal aset, soal apa saja – dan saya tidak pernah mau terlibat dalam transaksi. Ini saya cuma mempertemukan urusan kalian, setelah itu kalian bersyukur, berterima kasih, terus nraktir saya, wis ra popolah nraktir wae, tapi dengan rasa syukur. Dan saya tidak mau meremehkan Tuhan. Tuhan pasti kasih rizqi saya wong saya berbuat baik kok. Saya tidak akan moroti perbuatan baik itu untuk kepentingan ekonomi.Masak perbuatan baik saya sendiri tak poroti, tak cari duitnya sendiri, iku kan ngisin-isini.”
Mbak Ning berkomentar, “Dadi kuwi wong pinter sing kepinterane untuk minteri wong bodho.”
“Nah, kuwi kunci yo Dik, kowe entuk dadi wong pinter ning ra entuk minteri. Kowe entuk dadi wong ayu ning ra entuk kemayu. Kowe iso dadi kuat ning ojo nguati wong. Kowe entuk dadi wong gedhe, mung ora entuk nggedheni wong. Kuwi kunci.”
“Kalau saya digedheni digedheni sopo-sopo, sopo wae tak lawan. Pak Harto kuwi wong gedhe, tapi ra usah nggedheni aku. Ngko kowe nek nggedheni aku, tak duduhke nek aku yo gedhe. Wong aku ra tau nggedheni sopo-sopo. Kalau menjalankan kebiasaan orang besar,kan harusnya aku nggak di sini, di sekretariat ini. Tahun 1987 jadi menteri, tahun 1998 jadi presiden, itu kalau saya mau. Nek aku gelem ngono-ngono iku yo iso wae.”
“Saya ke sini ini karena kasih sayang, aku nduwe anak sak mono kae rek, nyambut gawe temenan ning luar negeri, ndhek negarane dhewe dianggep TKW, dianggap orang rendah. TKW ini padahal orang yang berani hidup, tidak merepoti APBN, tidak nuntut pemerintah untuk ngasih kerjaan, dan tidak marah lagi sama pemerintah.”
Problematika Para TKI/TKW
“Tapi kami di sini juga sering demo, Cak. Suatu contoh untuk masalah KTKLN (Kartu Tanda Kerja Luar Negeri), terus juga dulu waktu ada diskriminasi di Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta.”
“Itu karena ingin moroti kalian. Jadi ditampung, iwak lemu-lemu mengko diperes, iku lak bajingan. Sekarang masih ada? Kalian itu dengan menteri sama haknya, dengan presiden sama haknya, urusan passportnya sah apa tidak, titik itu saja. Memenuhi aturan ketenagakerjaan atau tidak, itu thok kok. Kok pakai dibedakan kalau TKW.”
“Seperti saya kan diwajibkan bikin KTKLN. Waktu saya pulang dulu katanya wajib, tapi saya tanpa KTKLN kok bisa masuk. Ini berarti peraturannya kan belum jalan. Kalau memang kayak Hongkong, kalau memang iya ya iya, kalau memang tidak, semuanya tidak kan begitu. Saya dulu aman-aman saja, terus ada teman yang tidak bisa terbang. Ada yang dari Surabaya tidak bisa terbang. Dua minggu yang lalu saya dari Indonesia, sengaja saya nggak bikin KTKLN, di check in sama Garuda, giliran masuk ke Imigrasi nggak bisa karena harus ada Kartu Kerja Luar Negeri. Akhirnya suruh bikin kan, saya oke, karena disitu ada fasilitas bikin KTKLN. Katanya langsung jadi di airport, saya kesitu, kantor tutup. Ada pegawainya katanya disuruh bikin entah dimana, kantor mana. Berarti kan harus besok, padahal saat itu kita harus terbang, pegawainya cuma ngasih kertas berisi alamat kantor di mana kami bisa ngurus. Dan jawabnya, ‘Sekarang sudah malam, saya mau tidur’.”
“Itu kantor KTKLN dibuat untuk apa? Akhirnya saya masuk ke bagian Imigrasi, saya check in, saya lapor, mohon maaf karena di bandara sini tidak menyediakan fasilitas KTKLN yang sesuai dengan diberitakan di Hongkong bahwa di bandara ada pembuatan KTKLN. Ternyata kan tidak bisa, dan kalau saya terlambat terbang apakah mereka mau tanggung jawab? Akhirnya saya dibawa ke kantor, saya mohon maaf karena memang belum bikin.”
“Waktu pulang saya sempit dan beritanya gratis bikin KTKLN. Kenyataannya, teman-teman saya survey, ada yang habis 600 ribu, 300 ribu. Sudah perjalanan jauh, libur cuma sebentar, 2 hari, untuk bikin KTKLN saja sudah 2 hari, 1 hari nunggu seharian, kan sia-sia waktu, akhirnya saya bilang, oke sekarang di Hongkong ada fasilitas bikin KTKLN, kalau memang ada seorang TKW yang belum bikin KTKLN dengan tujuannya Hongkong, mohon diberitahukan di Hongkong itu bisa bikin KTKLN, saya di-stempel Mbak.”
“Terus dia bilang, oke ini saya kasih kalau Anda pulang lagi ke Indonesia berangkat harus punya KTKLN. Setelah sampai sini saya bicara sama anak-anak, coba ini diperhatikan untuk masalah KTKLN, kalau sudah masuk ke kantor Imigrasi, berarti pemerintah sudah serius dan kita wajib mentaati. Kalau dulu kan di bagian check in, Imigrasi nggak peduli ada KTKLN atau tidak, tidak pernah ditanyakan. Nah kalau sekarang ditanyakan berarti peraturannya sudah bener-bener berlaku. Kalau dulu kan waktu check in, ada yang ditanyakan, ada yang tidak. Dulu pernah teman tak suruh lawan juga ke pegawai check in-nya kalau sampeyan bisa kasih uang 1 juta bisa masuk lho, bilang begitu, lalu saya bilang oke saya bisa kasih 1 juta tapi keluarkan KTKLN, kan nggak bisa. Lah kalau memang saya bisa kasih uang 1 juta bisa masuk, kenapa saya harus kasih. Saya nggak kasih pun berarti bisa masuk, nggak ada KTKLN toh.”
“Kalau sekarang, untuk yang baru-baru, biasanya dari PT-nya sudah ada KTKLN. Yang ingin kita usulkan itu, KTKLN tidak hanya untuk masa 2 tahun. Masak setiap 2 tahun bikin, harus bayar lagi. Kalau memang kerja di sini dan masih kerja di Hongkong, berarti dia sudah punya asuransi, karena persyaratannya itu katanya alasannya karena asuransi. Kalau bikin di Indonesia itu memang beli 170.000 yang untuk 1 tahun, 350.000 yang untuk 2 tahun, nahkalau untuk yang masih kerja di Hongkong, itu kan berarti pemerintah Hongkong majikannya yang sudah nanggung asuransinya.”
“Kemarin ada kejadian anak Banyuwangi, transit Jakarta, lalu Hongkong. Di Jakarta, KTKLN-nya habis masa berlakunya, nggak bisa masuk. Yang kita bingung, untuk apa sih kantor pembikinan KTKLN di bandara berapa meter itu lokasinya, berapa duit sewanya, kenapa nggak bisa kasih fasilitas, tahu penerbangan ke luar negeri tidak hanya siang saja, malam juga ada penerbangan, berarti harus buka 24 jam dan siap untuk membikin KTKLN. Itu malah dikasih alamat saja karena sudah malam dan petugasnya mau tidur. Mereka tutup pintu. Dulu waktu kejadian di Terminal 3 juga begitu. Harus lewat terminal 3. Yang kasihan itu yang dari Arab, yang tidak tahu dunia luar. Saya sendiri menilai, kalau memang di Hongkong itu enak karena undang-undangnya dari Indonesia, itu salah. Justru dari pemerintah Hongkong-nya sendiri yang bagus, yang menjadikan kita nyaman disini, karena kalau memang pemerintah Indonesia-nya yang bagus, harusnya seluruhnya yang ada TKW/TKI harus bagus. Di sini aturannya seimbang, kalau kita mutus kerja secara langsung pun, kita bayar majikan 1 bulan, begitupun majikan kalau mutus kerja secara langsung pun, dia harus bayar kita tunai 1 bulan.”
Mbak Ning bercerita panjang lebar mengenai contoh-contoh riil persoalan yang dihadapi para TKI.
“Di Indonesia, setiap yang ingin jadi pemerintah itu ingin merampok – dari presiden sampai bupati. Pikirane mung pengen ngrampok, piye carane korupsi-korupsi. Terus rakyat kalau ada rampok, kan bisanya ngemis. Sekarang pengemis kan njaluk-njaluk nganggo proposal, njaluksumbangan, pesantren kabeh njaluk sumbangan. Apa yang ingin dipelajari oleh pengemis, kepengin ikut merampok. Jadi rakyat sekarang itu cita-citanya bagaimana cara untuk bisa ikut merampok. Maka dari itu, kita harus melindungi betul keluarga kita, harus kita bangun sebagai manusia.”
“Saran saya, Anda mau pengajian apa saja, mau Az-Zahra, mau apa saja, nggak ada masalah, bagus semua. Saya mendukung semuanya. Cuma saya mewanti-wanti : kalian ini tenaga kerja,ngerti kalau kalian ini majikan sementara ustadz yang kalian datangkan – kalau dia pasang tarif – berarti dia buruh. Buruh harus manut. Carane manut : ayo digawe apik, iku jamaahmu dijak runding, kita sekarang punya masalah apa, dirumuskan bersama. misalnya ada 10 poin atau 20. Kita undang orang Indonesia yang bisa njawab itu – terserah mau ustadz, mau ahli psikologi, mau ahli ketenagakerjaan, saya bisa bantu nyariin orang. Jadi yang disebut pengajian itu: kalau ada racun didetoksifikasi, kalau ada sakit disembuhkan, kalau ada beras dijadikan nasi.
Sumber Tulisan : http://kenduricinta.com
Sumber Tulisan : http://kenduricinta.com
Post a Comment
Terima Kasih atas kunjungan anda. Jika Anda COPAS Tolong cantumkan Link Sumber. Mohon gunakan kata-kata yang sopan dalam memberikan komentar.
Komentar SPAM, SARA dan sejenisnya tidak akan di tampilkan.
Jangan lupa tinggalkan jejak dengan berkomentar :)