Tulisan ini bisa dimulai dari perspektif Rukun Islam. Dari syahadah
hingga menunaikan haji di rumah suci Allah. Kita mencoba menjelaskan
satu per satu maqam Rukun Islam tersebut. Dan, pada akhirnya, kita akan
melihat maqam ibadah puasa, yang menjadi topik bahasan tulisan ini.
Apakah maqam-maqam itu saling terkait, atau tidak?
‘Alamat’ dan ‘Jurusan’
Syahadah. Salah satu Rukun Islam berarti ketetapan dan penetapan
titik pijak dan sekaligus arah tujuan gerak kehidupan manusia Muslim.
Semacam ‘alamat’ dan ‘jurusan’. Pertama barangkali pada spektrum
kosmologis kemudian teologis, baru kemudian kedua kultural.
Pandangan tentang ‘sangkan paran’, semacam alamat
historis-kosmologis, menurut manusia untuk (melalui akal pikiran maupun
melalui informasi wahyu, mawaddah wa rahmah, juga huda, bayyinat, wa furqan)
menentukan alamat teologis (atau a-teologis)nya. Berdasarkan itu maka
ia berangkat merumuskan alamat sosialnya, alamat kulturalnya, juga
mungkin alamat politiknya, bahkan bukan tidak mungkin juga alamat
geografisnya. Dengan itu, beda pandang manusia mengenai dunia, akhirat,
dan tentang dunia akhirat menjadi terumuskan.
Menduniakan Akhirat, Mengakhiratkan Dunia, dan Mendunia-akhiratkan Kehidupan
Pada budaya dan perilaku manusia beserta sistem nilai yang disusun
dalam kolektivitas mereka, ada yang memandang dunia ini sebagai tujuan.
Seluruh aktivitas pribadi, gerakan sosial, pengorganisasian kekuasaan
dan kesejahteraan di antara mereka, dilaksanakan dengan mengandaikan
bahwa dunia ini adalah wadah satu-satunya dari segala awal dan segala
akhir.
Wadahnya hanya dunia. Substansinya hanya dunia. Metodenya hanya
dunia. Dan, targetnya juga hanya dunia. Orang lahir, orang bersekolah,
orang bekerja, orang berkuasa, orang berkarier, dalam ‘durasi’ dunia.
Segala sesuatunya akan berbeda dengan pandangan lain yang meletakkan
dunia sebagai titik tolak dan titik pijak untuk melangkah ke akhirat.
Sejarah di dunia dikerjakan sebagai jalan (syari’, thariq, shirath),
dan produknya adalah akhirat. Setiap kegiatan dan fungsi manusia dalam
sejarah, selama dunia berlangsung, berlaku sebagai metoda. Berkedudukan
tinggi, berjaya, unggul, atau menang di antara manusia, tidak dipahami
sebagai neraka. Sebab surga dan neraka adalah produk dari penyikapan
(teologis, moral, kultural) manusia atas semua keadaan tersebut.
Dalam hal ini belum akan kita perdebatan tentang apakah dunia dan
akhirat itu diwadahi oleh dua satuan waktu yang berbeda, atau terletak
pada rentang waktu yang sama, yang dibatasi oleh momentum yawm
al-qiyamah, ataukah dunia dan akhirat itu sesungguhnya berlangsung
sekaligus.
Ikrar teologis (yang beraktualisasi kultural) yang dilaksanakan
melalui syahadatain, ibadah lain serta ‘syariat’ hidup secara menyeluruh
adalah suatu pengambilan sikap, suatu pilihan terhadap pandangna atas
dunia dan akhirat. Dengan pijakan sikap ini manusia menggerakkan
aktivitas sosialnya, melaksanakan upaya-upaya hidupnya, serta
menja-dikannya sebagai pedoman di dalam memandang, menghayati dan
memperlakukan apapun saja dalam hidupnya.
Tidak termasuk dalam katagori ini pola sikap manusia yang dalam
bersyahadat seakan-akan mengambil keputusan teologis yang memetodekan
dunia untuk target akhirat, namun dalam praktiknya ia lebih cenderung
meletakkan dunia sebagai target dan tujuan.
Kerancuan sikap semacam ini bisa dilatarbelakangi oleh semacam
kebutaan (spiritual), oleh inkonsistensi (mental), oleh kemunafikan
(moral), atau oleh tiada atau tidak tegaknya pengetahuan (intelektual).
Yang terjadi padanya adalah kecenderungan menduniakan akhirat. Sementara
pada manusia yang dalam konteks tersebut tercerahkan spiritualitasnya,
yang konsisten sikap mentalnya, yang teguh moralnya, dan yang tegak
pengetahuannya- kecenderungannya adalah mengakhiratkan dunia, atau dari
sisi lain ia bermakna menduniaakhiratkan kehidupan.
Evolusi Salat dan Idul Fitri-Idul Fitri Kecil
Ibadah salat merupakan suatu metode ‘rutin’ kultural untuk proses
pengakhiratan. Momentum-momentum salat lima waktu memungkinkan manusia
pelakunya untuk secara berkala melakukan pengambilan ‘jarak dari dunia’.
Itu bisa berarti suatu disiplin intelektual untuk menjernihkan
kembali persepsi-persepsinya, untuk memproporsionalkan dan mensejatikan
kembali pandangan-pandangannya terhadap dunia dan isinya, sekaligus itu
bermakna ia menemukan kembali kefitrian-diri-kemanusiaan. Salat dengan
demikian adalah idul fitri-idul fitri kecil yang bersifat rutin.
Sekurang-kurangnya salat mengandung potensi untuk membatalkan atau
mengurangi keterjeratan oleh dunia. Ini sama sekali bukan pandangan
antidunia. Yang saya maksud, sebagai substansi, target, titik berat atau
tujuan kehidupan.
Ibadah salat dengan demikian adalah suatu transisi sistem yang
terus-menerus mengingatkan dan mengkodisikan pelakunya yang memelihara
sikap mengakhiratkan dunia atau menduniaakhiratkan kehidupan. Ibadah
salat menawarkan irama, yaitu proporsi kedunia-akhiratan yang dialektis
berlangsung dalam kesadaran, naluri dan perilaku manusia.
Kalau kita idiomatikkan bahwa salat itu bermakna pencahayaan (‘air
hujan’, salah satu jenis air yang disebut oleh al-Qur’an), maka jenis
ibadah berkala ini berfungsi mencahayai dan mencahayakan kehidupan
pelakunya. Mencahayai dalam arti menaburkan alat penjernihan diri dan
persepsi hidup. Mencahayakan dalam arti memberi kemungkinan kepada
pelakunya untuk bergerak dari konsentrasi kuantitas (benda, materi)
menuju dinamika kreativitas (energi) sampai akhirnya menuju atau menjadi
kualitas cahaya (Allahu nur al-samawat wa al-ardl).
Ibadah salat bersifat kumulatif dan evolusioner, sebagimana zakat
yang berlambangkan susu (jenis air lain yang disebut oleh al-Qur’an).
Kambing tidak meminum susunya sendiri, melainkan mendistribusi-kannya
kepada anak-anak dan makhluk lain. Etos zakat adalah mem-bersihkan harta
perolehan manusia. Membersihkan artinya mempro-porsikan letak hak dan
wajib harta. Manusia tidak memberikan zakat, melainkan membayarkan atau
menyampaikan hak orang atau makhluk lain atasnya.
Revolusi Puasa, Melampiaskan dan Mengendalikan
Berbeda dengan salat dan zakat, ibadah puasa bersifat lebih
‘revolusioner’ radikal dan frontal. Waktunya pun dilakukan pada masa
yang ditentukan, seperti disebutkan al-Qur’an. Dan, waktu puasa wajib
sangat terbatas. Hanya pada bulan Ramadhan.
Orang yang berpuasa diperintahkan untuk berhadapan langsung atau
meng-engkau-kan wakil-wakil paling wadag dari dunia dan diinstruksikan
untuk menolak dan meninggalkannya pada jangka waktu tertentu.
Pada orang salat, dunia dibelakanginya. Pada orang berzakat, dunia di
sisinya, namun sebagian ia pilah untuk dibuang. Sementara pada orang
berpuasa, dunia ada di hadapannya namun tak boleh dikenyamnya.
Orang berpuasa disuruh langsung berpakaian ketiadaan: tidak makan,
tidak minum, dan lain sebagainya. Orang berpuasa diharuskan bersikap
‘tidak’ kepada isi pokok dunia yang berposisi ‘ya’ dalam substansi
manusia hidup. Orang berpuasa tidak menggerakkan tangan dan mulut untuk
mengambil dan memakan sesuatu yang disenangi; dan itu adalah perang
frontal terhadap sesuatu yang sehari-hari meru-pakan tujuan dan
kebutuhan.
Puasa adalah pekerjaan menahan di tengah kebiasaan menum-pahkan, atau
mengendalikan di tengah tradisi melampiaskan. Pada skala yang besar
nanti kita bertemu dengan tesis ini; ekonomi-industri-konsumsi itu
mengajak manusia untuk melampiaskan, sementara agama mengajak manusia
untuk menahan dan mengendalikan. Keduanya merupakan musuh besar, dan
akan berperang frontal jika masing-maisng menjadi lembaga sejarah yang
sama kuat.
Sementara ibadah haji adalah puncak ‘pesta pora’ dan demonstrasi dari
suatu sikap, pada saat dunia disepelekan dan ditinggalkan. Dunia
disadari sebagai sekadar seolah-olah megah.
Ibadah thawaf adalah penemuan perjalanan sejati sesudah
seribu jenis perjalanan personal dan personal yang tidak menjanjikan
kesejatian dan keabadian. Nanti kita ketahui gerak melingkar thawaf
adalah aktualisasi dasar teori inna lillahi wa inna ilayhi raji’un. Suatu perjalanan nonlinier, perjalanan melingkar perjalanan siklikal, perjalanan yang ‘menuju’ dan ‘kembali’nya searah.
Ihram adalah ‘pelecehan’ habis-habisan atas segala pakaian
dan hiasan keduniaan yang palsu status sosial, gengsi budaya, pangkat,
kepemilikan, kedudukan, kekayaan, atau apapun saja yang sehari-hari
diburu oleh manusia. Sehabis berihram mestinya sang pelaku mengerti
bahwa nanti kalau ia pulang dan hadir kembali ke kemegahan-kemegahan
dunia–tak lagi untuk disembahnya atau dinomorsatukannya. Karena ihramlah
puncak mutu dan kekayaan.
Tauhid Vertikal dan Tauhid Horisontal
Adapun apa, ke mana, dan bagaimanakah sesungguhnya yang dijalani oleh
para pelaku Rukun Islam, terutama yang ber’revolusi’ dengan puasa?
Pilar utamanya adalah tauhid vertikal (tawhid ilahiyyah) dan tauhid horisontal (tawhid basyariyyah). Tauhid itu proses penyatuan. Penyatuan (ilahiyyah)
ke atau dengan Allah, serta penyatuan ke atau dengan sesama manusia
atau makhluk, memiliki rumus dan formulanya sendiri-sendiri.
Perlawanan terhadap dunia, penaklukan atas diri dan kehidupan untuk
diduniaakhiratkan yang ditawarkan oleh ibadah puasa–sekaligus berarti
proses deindividualisasi, bahkan deeksistensialisasi. Tauhid adalah
perjalanan deeksistensialisasi, pembebasan dari tidak pentingnya
identitas dan rumbai-rumbai sosial keduniaan di hadapan Allah. Segala
kedudukan, fungsi dan peran di dunia dipersembahkan atau dilebur ke
dalam eksistensi sejati Allah dan kasih sayang-Nya. Tauhid sebagai
perjalanan deindividualisasi berarti menyadari dan mengupayakan proses
untuk larut menjadi satu atau lenyap ke dalam wujud-qidam-baqa’ Allah.
Manusia hanya diadakan, diselenggarakan seolah-olah ada, ada-nya
palsu–oleh Yang Sejati Ada.
Yang juga ditawarkan oleh puasa adalah proses dematerialisasi, atau
peruhanian atau dalam konteks tertentu pelembutan dan peragian.
Dematerialisasi bisa dipahami melalui, umpamanya, konteks peristiwa
Isra’ Mi’raj. Rasulullah mengalami proses transformasi dari materi
menjadi energi menjadi cahaya. Maka, dematerialisasi vertikal bisa
berarti mempersepsikan, menyikapi dan mengolah materi (badan, pemilikan,
dunia, perilaku, peristiwa) untuk dienergikan menuju pencapaian cahaya.
Fungsi sosial dikerjakan, managemen dijalankan, musik diciptakan,
karier ditempuh, ilmu digali dan buku dicetak, uang dicari dan harta
dihamparkan–tidak dengan orientasi ke kebuntuan dunia sebagai materi
yang fana, melainkan digerakkan ke makna ruhani, pengabdian dan taqarrub
kepada Allah, sampai akhirnya masuk dan bergabung ke dalam ‘kosmos’ dan
sifat-Nya.
Proses dematerialisasi, proses ruhanisasi atau proses transformasi
menuju (bergabung, menjadi) Allah, meminta hal-hal tertentu ditanggalkan
dan ditinggalkan. Dalam bahasa sehari-hari orang bilang: jangan
mati-matian mencari hal-hal yang tidak bisa dibawa mati.
Menanggalkan dan meninggalkan itu mungkin seperti perjalanan
transformasi padi menjadi beras, dan menjadi nasi. Padi menjadi beras
dengan menanggalkan kulit. Beras juga padi, tapi beras bukan lagi padi,
sebagaimana padi belum beras. Nasi itu substansinya padi atau beras,
tapi sudah melalui proses suatu pencapaian transformatif. Para pemakan
nasi tidak antipadi, tapi juga tidak makan padi dan menanggalkan kulit
padi. Pemakan nasi sangat membutuhkan beras, tapi tidak makan beras dan
tidak membiarkan beras tetap jadi gumpalan keras. Pemakan nasi memproses
bahan dan substansi yang sama menjadi atau menuju sesuatu yang baru.
Jadi, jika pemburu atau pengabdi Allah tidak antidunia, tidak
antimateri, tidak antibenda, tapi juga tidak menyembah benda, melainkan
mentransformasikan (mengamalsalehkannya), meruhanikannya (menyaringnya
menjadi bermakna akhirat). Bahkan manusia akan menanggalkannya dan
meninggalkan dirinya sendiri (gumpalan individu, wajah, badan,
performance, eksistensi dunia), karena ‘dirinya’ di akhirat, dirinya
yang bergabung ke Allah adalah sosok amal salehnya.
Pada ‘citra’ waktu, dematerialisasi, peruhanian, deindividualisasi,
dan deeksistensialisasi berarti pengabdian. Pembebasan dari
kesementaraan. Yang ditanggalkan dan ditinggalkan adalah kesementaraan.
Segumpal tanah bersifat sementara, tapi ia difungsikan dalam sistem
manfaat dan rahmat, maka fungsinya itu mengabdi. Sebagaimana gumpalan
badan kita serta segala materi eksistensi kita bersifat sementara, yang
menjadi abadi adalah produk ruhani pemfungsian atas semua gumpalan itu.
Melampiaskan dan Mengendalikan
Juga dalam proses tauhid horisontal, penyatuan berarti sosialisasi pribadi. Kalau masih pribadi yang individualistik (ananiyyah), ia gumpalan. Begitu integral-sosial (tawhid basyariyyah), ia mencair, melembut. Yang ananiyyah itu temporer dan berakhir, yang tauhid basyariyah itu baqa‘ dan tak berakhir.
Identitas sosial, harta benda, individu, segala jenis pemilikan
dunia, dienergikan, diputar, disirkulasikan, didistribusikan,
dibersamakan atau diabadikan ke dalam keberbagian sosial. Itulah
peruhanian horisontal.
Karena itu, proses-proses menuju keadilan sosial, kemerataan ekonomi,
distribusi kesejahteraan, kebersamaan kewenangan dan lain
sebagainya–sesungguhnya merupakan aktualisasi tauhid secara horisontal.
Kita tinggal memperhatikan setiap sisi, segmen dan lapisan dari
proses sosial umat manusia (pergaulan, kebudayaan, negara, sistem,
organisasi) melalui terma-terma materialisasi versus peruhanian, satu
versus kemenyatuan, pensementaraan versus pengabdian, penggumpalan
versus pelembutan, sampai akhirnya nanti pelampiasan versus
pengendalian. Budaya ekonomi-industri-konsumsi kita mengajak manusia
untuk melampiaskan. Sementara agama menganjurkan manusia untuk
mengendalikan. Kalau kedua arus itu sama-sama menemukan lembaga dan
kekuatan sejarahnya yang berimbang, konflik peradaban akan serius.
Ibadah puasa merupakan jalan ‘tol’ bagi perjuangan manusia untuk
mencapai kemenangan di tengah tegangan-tegangan konflik tersebut. Juga
dalam pergulatan antara iradah al-nas dalam arti individualisme
individu-kecil dengan iradah Allah Individu Besar Total.
Kita bisa menolak ke term sab’a samawat, tujuh langit–
Roh-Benda-Tumbuhan-Hewan-Manusia- Ruhanisasi-Ruh– bisa kita temukan
siklus-siklus kecil dan besar proses peruhanian yang diselenggarakan
oleh manusia.
Atau terma Empat ‘Agama’–’agama’intuitif-instinktif, ‘agama’
intelektual, ‘agama’ wahyu, serta ‘agama atas agama’–kita bisa menemukan
bahwa ketika penerapan wahyu-Agama terjebak menjadi berfungsi
gumpalan-gumpalan, maka ‘agama atas agama’ merupakan fenomena
peruhanian, kristalisasi substansi. Semua manusia bekerjasama menempuh
nilai-nilai inti peruhanian yang mengatasi gumpalan-gumpalan aliran,
sekte, kelompok, mazhab atau organisasi agama.
Terma lain yang mungkin bisa kita sentuh adalah cakrawala puasa
la’allakum tattaqun. Produk maksimal puasa bagi pelakunya adalah derajat
dan kualitas takwa. Dalam terapan empiriknya, kita mencatat
stratifikasi fiqh/hukum-akhlak-takwa. Kondisi peradaban umat manusia
masih tidak gampang untuk sekadar mencapai tataan manusia fiqh/hukum
atau budaya fiqh/hukum. Apalagi naik lebih lagi ke level akhlak dan
takwa.
Post a Comment
Terima Kasih atas kunjungan anda. Jika Anda COPAS Tolong cantumkan Link Sumber. Mohon gunakan kata-kata yang sopan dalam memberikan komentar.
Komentar SPAM, SARA dan sejenisnya tidak akan di tampilkan.
Jangan lupa tinggalkan jejak dengan berkomentar :)