Reportase Seminar 200 Tahun ditemukannya
Borobudur - Magelang 22 Agustus 2014 | Red KC/Karyadi, Kontributor:
Helmi Mustofa/Progress
MAGELANG — Tahun ini tepat dua abad usia penemuan Candi Borubudur
sejak ditemukannya pada tahun 1814. Atas hal tersebut Balai Konservasi
Borobudur menyelenggarakan berbagai rangkaian acara. Satu diantara
rangkaian acara tersebut adalah Seminar 200 Tahun Ditemukannya Candi Borobudur
yang diselenggarakan pada hari jum’at 22 Agustus 2014 dengan dihadiri
beberapa pembicara yaitu Emha Ainun Nadjib (Cak Nun), Sapta Niwandar, I
Gede Ardhika, dan Anhar Gonggong. Mengawali acara seminar tersebut
beberapa narasumber sudah menyampaikan paparannya mengenai tema yang
diangkat, hingga tiba saatnya Cak Nun diminta moderator untuk
menyampaikan beberapa hal.
Cak Nun mengawali dengan menyampaikan apa yang dipaparkan oleh pembicara terakhir I Gede Ardhika mengenai beda warisan dan pusaka, itu sama dengan makalah beliau mengenai Borobudur yang berjudul “Pusaka Satria“ yang
secara khusus beliau tulis untuk seminar tersebut. Karena apa yang
disampaikan oleh I Gede Ardhika sedikit mewakili apa yang akan
disampaikan oleh Cak Nun, maka Cak Nun menawarkan agar seminar ini
langsung dibuka dengan sesi tanya jawab dengan para hadirin.
“Saya ini bukan pemakalah, saya bukan
orang yang di luar Borobudur. Saya ini teman bergaulnya ibu Dirut dan
teman-teman Borobudur. Jadi saya disini hanya ngombyongi (membaur, -red) saja, terus saya nyumbang
tulisan untuk ibu Dirut dan siapa saja yang mau. Kalau ini saya baca 12
halaman, nanti malah mengacaukan pikiran-pikiran kita. Jadi ini makalah
yang anda pegang ini dibawa pulang saja, kalau berminat dibaca, kalau
tidak berminat dibuang saja. Tidak perlu dibicarakan sekarang, karena
ini ruwet. Daripada mengacaukan apa yang sudah kita terima dari Ardhika,
lebih baik kita sekarang langsung diskusi. Nanti kalau ada yang bisa
saya tambahi, tak tambah-tambahi. Untuk contoh keruwetan saya minta satu
menit. Saya tulis Pusaka Ksatria Karya Agung Bangsa Nusantara. Maksud
saya bukan bangsa Indonesia.”
Keruwetan yang dimaksud Cak Nun adalah mengenai sub judul dibahas
dalam makalah yang ditulis beliau yakni: 1. Lantip dan Waskito; 2. Ora
Usum; 3. Gudel ngroso Kebo; 4. Gudel ngroso Kebo; 5. Pusaka Nusantara;
6. Pusaka Ksatria; 7. Peradaban, Kebudayaan, dan Negara.
“Jadi saya toleran dengan forum ini
jangan diruwetkan oleh tulisan saya. Ini disimpan saja. Kalau pas
nganggur di rumah, sambil nonton pelantikan presiden yang baru, baca
ini,” ungkap Cak Nun.
Moderator melanjutkan sesi tanya jawab, mempersilahkan para hadirin untuk bertanya mengenai uraian yang telah disampaikan.
Prapto dari Padepokan Rumah Gudeg menanyakan, “Seharusnya kita
memahami keberagaman Indonesia bukan dari persatuan Indonesia melainkan
melalui Bhineka Tunggal Ika. Pertanyannya bagaimana mengangkat potensi
dareah mengenai kebhinekaan yang sudah ada dimasyarakat tersebut?”
Penanya selanjutnya Hari Jatmadi dari Sub. Seksi Pelaku Pariwisata Indonesia DPD DIY, “Antara dogma, culture, dan tourism kini ketiganya mengalami benturan (shock culture).
Setelah krisis moneter 1998 terjadi sebuah persepsi mengenai
meningkatnya kunjungan wisatawan Borobudur, dimana masyarakat sekitar
Borobudur akan mem-buddha-kan masyarakat Borobudur. Tetapi jika yang
datang wisatawan asing, mereka mengatakan “The Temple Of Muslim” karena yang datang semua pakai jilbab. Mohon pencerahan dari Ardhika dan Cak Nun.”
Sebagai penanya terakhir, Yadi dari Merbabu menanyakan, “Apakah ada
hubungannya Borobudur dengan gunung-gunung, dengan lembah-lembah. Dan
apakah terkait dengan satwa disekitar Borobudur?”
+
I Gede Ardhika menjawab rangkaian pertanyaan tersebut, “Mengenai
kebudayaan, kita tidak bicara dulu teori yang terlalu mendalam. Di dalam
budaya ada adat dan tradisi yang menjadi bagian dari kehidupan
masyarakat bangsa kita. Kalau toh itu ada, semestinya itu yang harus
dipelihara dan dijaga. Kontekstualnya adalah bagaimana dia memiliki
suatu hubungan yang bisa memperkuat dan memperkukuh NKRI dalam kaitan
kehidupan berbangsa dan bernegara. Jadi kalau ada hal-hal yang sifatnya
tradisi, kebiasaan, adat, mungkin budaya dalam batas tertentu itu tidak
sesuai dengan kerangka kehidupan kita berbangsa dan bernegara yang sudah
disepakati dengan landasan Bhineka Tunggal Ika, saya kira itu yang
perlu dicarikan jalan keluarnya.
“Minimal bahasa saya, bukan terlebih dahulu dicarikan semacam TOR (Term of Reference)
terlebih dahulu, tetapi bagaimana kita mencarikan upaya agar ia dapat
“beradaptasi” dalam kehidupan yang harmonis di dalam perbedaan-perbedaan
yang ada.
“Pertanyaan mengenai banyaknya pengunjung Borobudur yang memakai
jilbab. Saya tarik dalam kaitan fungsi kepariwisataan. Kepariwisataan
kita sudah meletakkan landasan filosofis atau nilai dasar kehidupan yang
berkeseimbangan, hubungan manusia sesama manusia, manusia dengan
Tuhannya, manusia dengan lingkungannya. Khususnya dalam kaiatan hubungan
manusia sesama manusia, yang belum semapat tadi saya jelaskan. Global Code of Ethic For Tourism, kode etik kepariwisataan dunia yang sudah kita adopsi ke dalam Undang-undang Kepariwisataan.
“Misalnya, fungsi kepariwisataan itu untuk membangun saling
pengertian dan menghormati antar penduduk dan masyarakat. Itu merupakan
judul bab-nya. Isinya salah satunya yang berkaitan dengan kontekstual
Borobudur tadi, bahwa menjunjung nilai-nilai etik kemanusian, sikap
toleransi, dan menghormati keberagaman agama, falsafah dan keyakinan
moral, menghormati kondisi sosial dan tradisi budaya, serta kehidupan
sehari-hari masyarakat. Termasuk menghormati mereka yang digolongkan
sebagai kelompok minoritas dan penduduk Asli. Jadi sekaligus mengenai
pertanyaan Pertama, kontekstualnya kalau kita gunakan kepariwisataan,
jiwa kepariwisataan itu harus diletakkan ke dalam apa yang dibacakan
saya tadi. Jadi dalam kaitan dengan etika kepariwistaan itu salah
satunya menghormati nilai-nilai,” jelas I Gede Ardhika.
Bhinneka Manunggal Ika
Cak Nun menanggapi pertanyaan pertama terkait Bhinneka Tunggal Ika.
Sampai hari ini beliau belum paham Bhinneka Tunggal Ika. Pertama,
Bhinneka Tunggal Ika bukan bahasa Indonesia, kemungkinan itu bisa dari
bahasa kawi, bahasa sanskerta, bahasa Jawa kuno, atau mungkin bahasa
arya yang lebih induk lagi. Maka kapan-kapan menurut beliau harus di
Bahasa Indonesia-kan. Keputusan memakai bahasa Indonesia juga merupakan
keputusan dari Betawi, yakni bahasa Melayu pasar yang dijadikan bahasa
Nasional. Mayoritasnya orang Jawa, tapi orang Jawa ngalah,
tidak perlu seluruh bangsa Indonesia memakai bahasa Jawa. Karena bahasa
Jawa itu sangat sukar, terdapat beberapa level, dan berbagai macam patrap
dan konteks yang penuh disiplin. Jadi akhirnya orang seluruh Nusantara
memakai bahasa yang gampang yakni bahasa melayu pasar, yang kemudian
berkembang menjadi bahasa Indonesia, yang sedikit berbeda dengan bahasa
melayu yang berkembang di Malaysia.
“Jadi Bhinneka Tunggal Ika bukan bahasa melayu. Bhinneka artinya keberagaman. Tunggal artinya satu dan ika juga satu. Namun ika itu artinya satu yang ada duanya, ada tiganya, dan seterusnya. Kalau tunggal
itu artinya satu-satunya. Misal, Tuhan itu tunggal, sebab kalau Tuhan
itu satu berarti ada yang kedua, ada yang ketiga. Maka Tuhan itu
tunggal, bukan Ke-Tuhan-an yang Maha Esa, sebab kalau esa ada dalawa, tatlu, apat
dalam bahasa Tagalog. Jadi kalau Tuhan yang Maha Esa, kita tinggal
tunggu tuhan berikutnya, nanti kira-kira akan dilantik bulan oktober.”
Tunggal ika menurut Cak Nun, mungkin maksudnya adalah manunggal ika. Bhinneka adalah beraneka-aneka ragam, manunggal artinya menyatu. Dalam bahasa arab yakni yuwahidu.
“Tapi saya tidak mengerti kok Bhinneka Tunggal Ika, ini kalau disalahkan apa boleh diralat juga? Jadi sudahlah mending
tidak usah dipikirkan, diterima saja. Semua yang terjadi di Indonesia
tidak usah direnungkan, tidak usah dipertanyakan dengan akal sehat,
tidak usah dilihat baik apa buruk, daripada dirimu bentrok tidak
karu-karuan. Dimakan saja sudahlah, mudah-mudahan Allah Maha Pemaaf dan
kita semua masuk surga. Karena kita yang masuk surga, akhirnya surganya
jadi neraka. Karena kita kelakuannya agak neraka,” sambung Cak Nun
disambut tawa meriah dari para hadirin.
Kemudian Cak Nun melanjutkan, “Secara
aplikatif, bhinneka merupakan anugerah Tuhan. Tuhan ciptakan ayam
jenisnya macam-macam, kambing jenisnya macam-macam, itu adalah Bhinneka.
Ada yang Tuhan takdirkan jadi orang Magelang, anaknya orang Papua, maka
itu semua adalah karya Tuhan. Jadi bhinneka itu karya Tuhan, tapi ika
atau manunggal ika adalah tugasnya manusia. Setelah Tuhan ciptakan
bhinneka, selanjutnya manusia ditugaskan untuk me-manunggal-kan yang
bhinneka menjadi ika. Disitulah gunanya negara, filosofi, sistem, ilmu,
musyawarah dan mufakat.”
Cak Nun menilai bahwa sampai hari ini kita belum pernah menemukan parameter yang jelas mengenai manunggal ika.
Kalau bhinneka-nya jelas, tapi tunggal ika-nya tidak jelas. Selain kita
bersepakat untuk ber-ika, ber-tunggal menjadi negara kesatuan, itu
sudah pasti ika. Tapi aplikasi dibentuknya negara, tidak jelas ika-nya
itu apa maksudnya. SBY selama ini jadi Presiden, tapi tetap dia menjadi
Presiden Demokrat bukan Presiden Indonesia. Sampai hari ini semua
Presiden adalah Presiden partainya, belum pernah ada Presiden untuk
rakyatnya. Dimana letak ika-nya?
“Jadi saya tidak akan meneruskan omongan
yang namanya tunggal ika. Orang sekarang calon Presiden dan Wakil sudah
berdebat soal kabinetnya, untuk ika susah banget. Apalagi I Gede Ardhika
mengatakan, kita bikin segala sesuatu jangan pakai kultur dari luar.
Ini bahaya omongan ini, harus ditambahi kalimat: jangan pakai kultur
dari luar Indonesia kecuali yang sudah terlanjur. Kalau tidak, itu
bahaya kalimatnya. Sebab kalau memang kita konsisten dengan bhinneka
tunggal ika, orisinal bikinan kita, maka nomor satu kita harus batalkan
negara. Tidak pernah ada konsep negara dalam sejarah peradaban kita,
yang ada adalah kerajaan. Dan sangat berbeda, kerajaan itu sistemnya dan
segala macamnya sangat berbeda. Kalau kerajaan itu seluruh tanah dan
aset milik Raja, kalau negara seluruh aset dan tanah milik rakyat. Maka
aplikasinya sangat berbeda, mekanismenya sangat berbeda, government-nya sangat berbeda. Saya tidak akan meneruskan omongan bhineka tunggal ika, karena ini akan menimbulkan chaos. Udah biarkan saja seperti ini, teruskan saja.”
Borobudur Merupakan Golden Point
Sebelum menjawab pertanyaan berikutnya mengenai hubungan Borobudur
dengan gunung-gunung, struktur, alam, dan seterusnya. Cak Nun menegaskan
untuk menyepakati dulu, siapa yang dipercaya untuk berbicara mengenai
ini, daripada beliau menjawab kemudian tidak dipercaya siapa-siapa.
“Jadi sekarang tentukan dulu kalau ada
sesuatu yang akan diomongkan itu yang dipercaya siapa? Ilmuwan, tokoh
kebatinan, ulama, Presiden atau siapa yang harus dipercaya? Saya bisa
omong macam-macam mengenai Borobudur ini, karena yang namanya Borobudur
ini asumsinya tidak hanya disini, di selatan sarong itu ada Borobudur
lebih besar dari pada Borobudur, di UII ada candi sangat besar. Kalau
soal asumsi banyak sekali. Masalahnya sekarang ayo kita serahkan pada
ilmuwan untuk meneliti, baru kita percaya mereka hasilnya. Dari pada
saya jawab macam-macam, piramid berapa jumlahnya, kenapa gunung merapi
lurus sama tugu sama kraton, kenapa malioboro. Sampai Sultan itu sendiri
bingung.
“Orang dahulu memakai utara, selatan,
timur, dan barat. Tapi orang hari ini hanya tahu kanan, kiri, depan,
belakang, tidak tahu barat dan tidak tahu timur, sehingga tidak memiliki
perspektif kosmis. Semakin lama semakin sempit pemahamannya. Kalau
Panembahan Pengeran Mangkubumi buat Keraton Yogya dan di abad ke-8
dibuat Borobudur, itu dihitung bukan hanya wilayah pulau Jawa dan
Nusantara tetapi dihitung berdasarkan koordinat galaksi-galaksi. Maka
Borobudur di bangun disitu, tempatnya merupakan golden point.
“Saya hidup di Malioboro lima tahun,
gelandangan bener disana saya. Dan selama saya bersama bang Anhar
Gonggong disana, dia sampai hari ini belum tahu Malioboro itu bahasa
Jawa atau bahasa mana. Meskipun dia sejarawan. Kemarin saya terpaksa
buka rahasianya sedikit. Jadi kalau dari Gunung Merapi – Tugu –
tengah-tengah pohon Beringin Keraton – Puncak Keraton – Laut Selatan,
itu dulu satu tempat yang dihitung ekologinya, frekuensinya,
koordinat-kooridnat kosmologisnya secara sangat seksama oleh Pangeran
Mangkubumi, dibantu Pangeran Sambinyo. Untuk perjalanan manusia
sederhana, dari Tugu ke rel itu namanya Jalan Margoutomo. Margo artinya jalan, utomo artinya utama. Dari rel ke toko Terang Bulan namanya malioboro.
Dari toko Terang Bulan sampai Kantor Pos namanya Margomulyo. Dari
Kantor Pos sampai Keraton namanya Pangurakan. Itu mayoritas penduduk
Yogya tidak ada yang tahu betul, sampai Sultan sendiri lupa. Nah, ini
sebenarnya ajaran yang sangat jelas, makanya saya berbicara Borobudur
ini tidak mau berbicara Borobudur close up. Saya bikin makalah
panjang karena Borobudur ini seperti I Gede Ardhika bilang, pariwisata
itu anaknya kebudayaan, bukan kepariwisataan punya anak namanya
kebudayaan yang akan dijual-jual,” terang Cak Nun.
“Keraton Yogya memberi pelajaran, bahwa
anda ini kalau mau hidup cari ‘jalan utama’ dulu. Yang mana yang baku,
yang mana benar-salah, mo-limo boleh atau tidak boleh. Kalau kamu sudah lulus kebenaran standar, sampai letnan lah kira-kira, baru nanti kamu jadi malioboro. Malioboro itu artinya dadi o wali sing ngumboro. Bahasa Jawa itu kalau warung jadi kata perintah marungo, nek wali jadi malio. Wali adalah Jawa Islam, artinya orang yang mewakili hikmah Tuhan di muka bumi. Dadi wali sing ngumboro
artinya setelah kamu lulus sarjana kamu harus menjalani kehidupan. Ilmu
kamu itu diuji. Berapa lama kamu mampu memegang satu idealisme,
jangan-jangan kamu jadi aktivis lima hari lagi kamu sudah berubah
pendapatmu. Maka disuruh mengembara yang disebut Malioboro. Kalau kamu
lulus mengembara secara batin, spiritual, intelektual, dan mental maka
kamu akan masuk ke jalan kemulyaan. Kalau lulus di jalan margomulyo, baru kita jadi orang pangurakan,
orang yang sudah memiliki kemerdekaan. Orang yang sudah tidak
tergantung lagi menjadi atau tidak menjadi, orang yang sudah tidak
tergantung kaya atau misikin, orang yang sudah tidak tergantung lagi
dihina atau dihormati, tidak akan berebut jabatan, tidak akan
jelek-jelekin siapa-siapa, tidak akan puas dengan dunia, dunia menjadi
ringan seperti kapas, karena dia sudah menemukan yang sejati dalam
dirinya.”
Merespon pertanyaan berikutnya terkait Borobudur banyak dikunjungi
oleh wisatawan yang berjilbab Cak Nun menanggapi dengan guyonan. Bahwa
ketika Gus Dur jadi Presiden, Cak Nun mengingatkan kalau Gus Dur tidak
boleh berhubungan dengan Nyi Roro Kidul, sebagaimana Raja-raja Jawa
sebelumnya. Maka Gus Dur menjawab, “Tenang saja Cak, Nyi Roro Kidul
sudah tak sms untuk pakai jilbab.” Jadi bukan culture shock
kalau di Borobudur adalah penuh dengan turis-turis domestik yang
berjilbab. Apalagi sekarang ada penelitian yang mengklaim, bahwa
Borobudur itu bikinan nabi Sulaiman. Benar-tidaknya jangan tanya saya.
Tapi yang bisa membuktikan itu siapa, kecuali kita datangkan Nabi
Sulaiman kesini.
+
Setelah pertanyaan dijawab satu persatu, kemudian dibuka kembali
beberapa penanya. Sutono bertanya terkait bahwa dulu ia pernah mendengar
Cak Nun bercerita bahwa ada pusaka Borobudur dan satu lagi ruhnya,
pamornya. Menurut Cak Nun, bagaimana caranya biar tidak terlalu ruwet
pamornya? Saya mencoba bikin ruwatan di Borobudur, dianggap
syirik. Itu bagaimana? Supardi, Ketua Komunitas Lima Gunung menanyakan
mengenai kegelisahannya, mengapa yang dari gunung desapun dapat membuat
festival ajang budaya kesenian daerah. Tapi dari Borobudur yang megah,
kenapa festival hanya satu, dua tari? Kedua, apakah Borobudur masa
lampau juga ada festival juga?
Menanggapi pertanyaan mengenai ruwatan
yang dianggap syirik. Cak Nun menyatakan, “Bahwa muslim, syirik itu
tidak bisa dilihat. Meskipun saya jadi khatib sholat Jumat, itu tidak
bisa disimpulkan bahwa saya seorang muslim. Muslim, syirik, kafir,
letaknya di alam pikiran dan alam niat kalbu dan hatinya. Jadi kalau
terjadi tuding menuding secara fisik, sosial, bahwa ini syirik dan tidak
syirik itu berarti kejahatan. Karena anda syirik atau tidak seperti
cinta, anda boleh mengaku cinta kepada istri anda, tapi Tuhan yang tahu
anda cinta benar atau tidak. Menurut saya syirik atau tidak letaknya
bukan pada ruwatannya, tetapi di niat anda apa. Syirik itu rumusnya
sederhana: kalau anda menganggap ada penguasa yang lain selain Allah.
Kalau anda meminta hal-hal yang hak-Nya Allah, anda minta kepada yang
bukan Allah. Kalau anda ke Mekah keliling ka’bah itu syirik jika niatnya
supaya daganganmu laku. Jadi letak syirik dan tidak, bukan di dalam
pekerjaan fisiknya tetapi di dalam software-nya.
Ruwat itu dibilang syirik, karena mereka sendiri tidak paham. Mereka ambil kesimpulannya adalah kalau ruwatan itu dari agama Hindu dulu. Maka segala sesuatu yang Hindu itu haram. Jadi kalau orang Hindu itu suka mandi, mandi itu haram. Ruwatan itu sebenarnya tidak ada masalah, anda sholawatan juga semacam ruwatan, yang kita lakukan sekarang ini juga ruwatan yaitu kita menginvestasikan kebaikan untuk masa depan, dan membersihkan yang kotor-kotor dari masa silam. Ruwatan itu membersihkan jalan dari hulu ke hilir. Ruwatan dari kata ro-wa, artinya melihat. Kalau anda baca hadist itu ada rowahu, jalannya yang meriwayatkan. Jadi ruwatan itu sebenarnya membersihkan jalan ke depan dan membersihkan jalan yang di belakang, maka ruwatan itu baik. Ruwatan atau apapun tidak ada masalah tergantung niat anda, kecuali kalau anda melanggar ke-esa-an Tuhan pokoknya syirik.
Kalau anda disebut bid’ah, seluruhnya ini
bid’ah. Bid’ah itu perlu. Bid’ah adalah segala sesuatu yang tidak
pernah dilakukan oleh Muhammad dan tidak pernah dianjurkan Muhammad,
serta tidak diperintahkan Muhammad. Bid’ah itu penting, padi harus
dibid’ah-kan menjadi beras, beras harus diubah menjadi nasi. Indonesia
ini bid’ah.”
Cak Nun memungkasi mengenai prinsip syirk dan bid’ah. Syirik itu
pokoknya segala sesuatu yang memfungsikan selain Tuhan menjadi Tuhan.
Kalau sudah ada tokoh yang kamu bela melebihi membela Tuhan, maka kamu
syirik. Kalau ada tokoh yang kamu sakit hati kalau tokoh itu diejek,
melebihi sakit hatimu apabila nabi diejek, maka itu syirik. Kalau
bid’ah, itu berlakunya di dalam rukun islam, di luar rukun islam tidak
masalah. Ada dua macam hukum dalam islam yaitu mahdhoh dan muamalah.
Mahdhoh itu adalah yang Allah perintah langsung, prinsipnya adalah
jangan lakukan kalau Allah tidak perintahkan. Muamalah prinsipnya adalah
apa saja boleh, kecuali yang dilarang.
Menjawab pertanyaan apakah ada festival
di zaman Borobudur dahulu. Cak Nun menjawab, “Festival itu saya kira
adalah pekerjaan yang dimaui oleh Tuhan. Ketika ia menciptakan
seluruhnya ini. Terus Dia ingin mengalami kerinduan, maka Tuhan
menciptakan big-bang alam semesta, sehingga terus Dia punya
jarak dengan ciptaan-Nya. Kemudian alam semesta diisi dengan manusia,
dikasih hati, dikasih kerinduan sehingga bisa saling rindu. Di indonesia
hari ini setan dan iblis-iblis melakukan festival. Dari Jakarta pindah
Yogya, dari Yogya pindah ke Jakarta. Karena setan sudah tidak punya
pekerjaan lagi, sebab manusia tidak perlu setan untuk berperilaku setan.
Masalahe takon sing ora-ora, tak jawab sing ora-ora.”
Jawaban dari Cak Nun tersebut juga menjadi pemuncak seminar hari itu.
Sumber: kenduricinta.com
Post a Comment
Terima Kasih atas kunjungan anda. Jika Anda COPAS Tolong cantumkan Link Sumber. Mohon gunakan kata-kata yang sopan dalam memberikan komentar.
Komentar SPAM, SARA dan sejenisnya tidak akan di tampilkan.
Jangan lupa tinggalkan jejak dengan berkomentar :)