Tulisan ini dengan judul Psikologi lansia didasarkan pada sebuah refleksi atas pengalaman dan bercermin pada keadaan yang sering terjadi dan diamati oleh banyak orang. Pengalaman yang dimaksud adalah 6 tahun mendampingi ayah sendiri diakhir hayatnya (1970-1976). Beliau dilahirkan tahun 1901 dan wafat tahun 1976, genap berusia 75 tahun. Saya mendampinginya selama 6 tahun secara intensip, setelah meninggalkannya selama kurang lebih 20 tahun.
Pada usia beliau 69 tahun, saya dipanggil pulang untuk menemaninya, saat itu saya menghantar pula ke rumah sakit untuk operasi kanker usus. Ayah saya seorang guru. Tinggalnya di desa dimana dia diangkat pada tahun 1919 sebagai seorang guru untuk sekolah pribumi. Dari desa itu beliau tidak pernah pindah , hanya awalnya kepala sekolah desa jaman Belanda, akhirnya guru SMP sampai pensiun.
Aktivitas beliau luas baik dibidang pendidikan, juga bidang social, politik, dan kegerejaan. Satu catatan yang tak pernah saya lupakan adalah pernyataannya bahwa beliau tak pernah pindah tempat tinggal dan pekerjaan, karena merasa selalu ada tugas yang belum diselesaikan. Ada tiga kali peluang pindah kerja dan promosi, tetapi selalu dengan sengaja ditolak karena ada tugas yang belum selesai. Ayah saya juga manusia lintas jaman: belanda, jepang, revolusi, orde lama, orde baru. Sekali lagi dunianya pendidikan, social, kegerejaan, dan politik (pernah dia menjadi anggota DPRD Dati II).
Selama saya mendampingi beliau seringkali saya dijadikan juru bicaranya bagi generasi muda dilingkungan social, kegerejaan dan politik. Disana beliau nampak sadar betul sebagai lansia. Tetapi hatinya terbuka bagi generasi muda. Dalam forum manapun saya tak pernah terlihat beliau minder, meskipun semua pihak selalu merasa dihormati olehnya. Dia tak pernah merasa mengalami gentar karena ketuaannya. Dia selalu tahu apa yang dia bisa sumbangkan, tetapi dia juga sadar diatas langit masih ada langit. Beliau tak pernah membanggakan jamannya sebagai lebih baik, tetapi dia sekali waktu menceritakan prestasi sekolahnya kepada saya, anaknya, dan tidak kepada orang lain apa lagi didepan umum.
Generasi muda dijamannya tidak pernah memberontak, karena merasa cukup dihargai. Dan dia tetap juga lansia, secara phisik semakin terbatas geraknya. Tetapi cukup sering isteri saya memperingatkan beliau agar jangan bersepeda terlalu jauh…….oh Lansia itu….! Sekarang sayapun sudah dikategorikan lansia. Suatu hari saya dapat tembusan surat dari sebuah lembaga yang ingin menyelenggarakan dampingan bagi lansia, tertulis disurat itu: “akan diadakan pemberdayaan dst,dst.” Jadi saya sudah termasuk orang yang akan diberdayakan. Saya saat itu tersinggung. LSM lain membuat pendekatan tak langsung kepada lansia, yaitu keluarganya. Diambil oleh mereka seorang anggota keluarga lansia, untuk dijadikan kader perawat/pendamping lansia. LSM ini saya nilai lebih mengena, dan tidak menyinggung perasaan lansia.
Lansia adalah singkatan dari lanjut usia. Dalam pergaulan sehari-hari nampaknya tidak terdapat kesepakatan mengenai batasan umur untuk lansia. Ada orang berpendapat lansia identik dengan orang pikun, orang tua yang telah memerlukan serba bantuan untuk melaksanakan kehidupan sehari-hari, seperti berjalan, mandi, makan, dsb. Ada orang menganggap lansia adalah orang yang purna tugas atau pension. Sementara itu bila dilihat dari umur seseorang nampaknya: ada orang berumur 65 tahun sudah tidak kuat berjalan tegak, perlu banyak bantuan, orang lain lagi 75 tahun masih ingin saja naik sepeda.
Fenomena yang biasanya jadi sorotan dan akan diamati, adalah :
A. Postpower syndrome, yaitu gejala kejiwaan akibat seseorang kehilangan kekuasaan, kewenangan, dan segala yang menjadi tautannya, yang muncul menjadi rasa tidak menentu, grogy, kecewa, takut, kemudian kerap kali menggejala dalam perilaku seperti gampang marah, gampang tersinggung, membicarakan kebesarannya dimasa lalu tanpa kendali, bahkan mungkin main perintah tidak pada tempatnya.
B. Pandangan kebelakang maksudnya kecenderungan para lansia melihat dan menilai masa lalunya adalah masa / zaman / kondisi paling baik, lebih baik dari sekarang.
C. Wawasan terhadap generasi sesudahnya. Pandangan banyak orang lansia cenderung menilai masa lalunya lebih baik, maka juga melihat orang sekarang itu “kurang” baik, kurang teguh, kurang hebat dibanding orang zaman lansia hidup muda dahulu. Latar belakang tentara akan melihat orang zaman sekarang kurang patriotic, lansia guru cenderung menilai guru sekarang kurang apalah.
Fenomena pertama tersebut diatas pasti tidak melekat serta merta pada gelar lansia. Disposisi lansia keseluruhannya akan menentukan apakah dan sejauh mana fenomena itu akan dialami oleh lansia yang bersangkutan. Tidak tentu seorang jendral akan mengalami post power syndrome lebih parah daripada seorang kapten. Disposisi dibangun oleh :
a. posisi yang ditinggalkan menurut kesadaran yang bersangkutan,
b. pembawaan,(ekstrovert/introvert) dan watak yang telah dilatihkan,
c. pendidikan, dan atau ketrampilan yang dimiliki
d. tantangan nyata yang dihadapi setelah perubahan posisi. (kondidi ekonomi, kondisi keluarga dsb).
Fenomena kedua dan ketiga memang sangat erat hubungannya. Disposisi seseorang terbangun oleh:
a. Situasi pada umumnya yang sulit saat ini, membuat seseorang cenderung melihat masa lalu lebih baik. Padahal mungkin seseorang itu dahulu belum harus bertanggungjawab seperti sekarang.
b. Situasi masa muda yang masih mudah karena tertopang oleh orang tua. Masa sekolah yang bahagia dst.
c. pembawaan,(ekstrovert/introvert) dan watak yang telah dilatihkan,
d. pendidikan, dan atau ketrampilan yang dimiliki
e. Perubahan / perkembangan persepsi akan nilai-nilai
f. Perubahan kebiasaan perilaku, perubahan adat istiadat dll.
g. Perbedaan situasi ekonomi
Selanjutnya gejala post power syndrome dan dua gejala berikutnya tersebut dimuka saya pertanyakan mengapa tidak ada secara signifikan pada ayah saya. Setelah saya coba ingat dan nilai kembali mungkin beberapa butir dibawah ini bisa menjelaskan:
1. Posisi yang ditinggalkan ayah saya memang bukan jabatan tinggi, hanya guru SMP yang diraih secara autodidak, jabatan politis tak pernah perlu dibanggakan.
2. Pembawaan ayah saya adalah orang yang rendah hati, tahu diri, dan selalu berusaha meningkatkan prestasi kerja nyata.
3. Ayah saya seorang autodidak yang tak pernah berhenti belajar. Dia harus tahu apa yang dibutuhkan/perlu untuk melaksakan tugasnya.
4. Tantangan hidup kedepannya tidak pernah menggentarkan, karena beliau sudah dilatih saat pergantian belanda ke jaman jepang, saat-saat revolusi, dan awal republik ini. Sementara hidup keagamaannya juga cukup dalam sehingga sangat menopang menghadapi tantangan hidup beliau, baik secara social/politik maupun ekonomi.
5. Perubahan-perubahan situasi dan kondisi lingkungan menjadi guru yang didengar baik oleh beliau. Setiap zaman mempunyai segalanya sendiri-sendiri. Masa lalu dihayati beliau sebagai hal yang dihadapi di masa lalu, masa kita kita harus berjuang untuk tidak tenggelam, kalaupun bisa meningkat disyukuri.
6. Generasi muda setiap zaman berhak dan harus mewujutkan zamannya sendiri, sebab beliau juga dahulu pejuang muda dijamannya.
Saya dapat merasa dan melihat pula bahwa ayah saya juga mengalami semacam ganjalan-ganjalan juga untuk sementara. Tidak segalanya langsung ayah saya dapat dengan licin menerimanya. Namun kesabaran dan “diam sejenak” beliau biasanya menelorkan sikap dan kearifan yang mengejutkan saya, karena kalau saya mungkin tak bersikap serupa itu.
Pelajaran yang sekarang saya ingin mengambilnya antara lain:
1. Secara psikologis nampaknya ayah saya bukan lansia yang lemah, secara phisik ya.
2. Kemampuan seseorang dalam mengambil hikmah (lesson-learn) itu dapat membuat arif dan bijak, tetapi bukan pengalamannya sendiri itu. Pengalaman boleh sama, hikmah yang dipetik tentu tidak selalu sama, maka kearfannya pun berbeda.
3. Bukan demi umur tua semata masyarakat menghormati orang tetapi kearifan yang signifikan, sikap tahu diri membuat orang lain jadi menghormatnya. Tahu diri itu bukan minder atau kurang pd, tetapi tahu kemampuannya dan batasnya.
4. Ajaklah anak-anak menghormati nenek mereka, kelak anak-anak anda akan menghormat anda pula dengan mengajak cucu-cucu menghormat nenek mereka.
Sayang seringkali masyarakat juga tidak jujur, demi melakukan apa yang pada umumnya orang pada melakukannya. Misalnya seperti orang secara latah menghormati sang tuan tanah, raja ternak, atau orang kaya, karena dia kaya meski mungkin jahat.. Sic! Begitulah!
Link lengkapnya klik tulisan Ini
Post a Comment
Terima Kasih atas kunjungan anda. Jika Anda COPAS Tolong cantumkan Link Sumber. Mohon gunakan kata-kata yang sopan dalam memberikan komentar.
Komentar SPAM, SARA dan sejenisnya tidak akan di tampilkan.
Jangan lupa tinggalkan jejak dengan berkomentar :)