Ketidakwajaran Sidis diawali saat dia mampu makan sendiri menggunakan sendok pada usia 8 bulan. Pada usianya yang belum genap 2 tahun, dia telah menjadikan New York Times sebagai teman sarapan paginya. Dia mampu menulis buku tentang anatomi dan astronomi sebelum usia 8 tahun. Usia 11 tahun dia telah diterima sebagai mahasiswa termuda di Hardvard University. Yang lebih dahsyat adalah Sidis mengerti 200 jenis bahasa di dunia dan mampu menerjemahkannya dengan cepat dan mudah. Dalam sehari, dia bisa mempelajari sebuah bahasa secara keseluruhan.
Dibalik kesuksesannya tersebut, terdapat sang ayah yang berprofesi sebagai psikolog handal berdarah Yahudi. Ayahnya bernama Boris Sidis juga alumni dari Hardvard. Dia menjadikan anaknya sebagai contoh untuk sebuah model pendidikan baru. Ini digunakan untuk menyerang sistem pendidikan konvensional yang baginya merupakan cikal bakal pembentukan kejahatan, kriminalitas dan penyakit.
Sayangnya, Sidis meninggal justru pada usia dimana seorang ilmuwan mancapai masa produktif. Sebuah usia yang tergolong muda, yaitu 46 tahun. Ironisnya, Sidis meninggal dalam keadaan menganggur, terasing dan amat miskin. Banyak orang yang menilai bahwa kehidupan Sidis tidak bahagia. Dia justru tersiksa karena popularitas dan kehebatannya pada bidang matematika. Beberapa tahun sebelum ia meninggal, Sidis sempat mengatakan kepada pers bahwa ia membenci matematika.
Kejeniusannya tidak seimbang dengan keberhasilannya dalam dunia sosial. Sidis hanya sedikit memiliki teman. Bahkan ia sering diasingkan oleh rekan sekampus. Dia juga tidak pernah memiliki seorang pacar ataupun istri. Gelar sarjananya tidak pernah selesai, ditinggal begitu saja. Selanjutnya ia memutuskan hubungan dengan keluarganya, mengasingkan diri, dan bekerja dengan gaji seadanya. Ia meninggalkan kejayaan masa kecilnya yang sebenarnya adalah bentukan sang ayah. Ia menyadarinya bahwa hidupnya adalah hasil pemulaan orang lain, bukan hasil dari keinginannya sendiri. Dia bukanlah penentu jalan hidupnya sendiri. Ada keinginan kuat untuk lari dari pengaruh sang Ayah, untuk menjadi diri sendiri, walaupun dia tahu dia tidak punya kuasa apapun. Dia terlanjur menjadi public figure yang menjadi bahan berita. Kemanapun dia bersembunyi, pers pasti bisa menemukannya. Pengaruh sang ayah tidak bisa dia lepaskan begitu saja. Ini menjadi semacam senjata atau bahkan bom waktu yang setiap saat dapat meledak dan menghancurkan dirinya sendiri. Kebebasannya benar-benar terampas.
Ia nyaris menghilang, hingga pada akhirnya di tahun 1937, majalah terkemuka New Yorker menerbitkan satu tulisan tentang dirinya dan kehidupannya yang tersembunyi. Pada usianya yang ke-39 tahun itu, tampaklah gambaran kondisi Sidis yang menyedihkan. Ia tinggal di sebuah kamar yang kusam dan tak rapi. Bahkan si jenius itu tampak kesulitan merumuskan kata-kata yang tepat untuk mengemukakan pendapatnya. Bila ia temukan kata itu, ia bicara cepat, menganggukkan kepalanya seperti sentakan untuk menandaskan apa yang dimaksudkannya, tangan kirinya bergerak sibuk dan kadang-kadang mengeluarkan bunyi ketawa yang aneh. Ia mencoba untuk menjadi dirinya sendiri dengan memilih hidup miskin dan tak dikenal. Sangat mengharukan. Tapi ternyata ia tak punya lagi hak untuk menentukan dirinya sendiri. Sejauh apapun dia berlari, dia sudah tidak memiliki kesempatan untuk memilih kecuali hidup dibawah bayang-bayang orang tuanya dan mengikuti jejaknya.
Post a Comment
Terima Kasih atas kunjungan anda. Jika Anda COPAS Tolong cantumkan Link Sumber. Mohon gunakan kata-kata yang sopan dalam memberikan komentar.
Komentar SPAM, SARA dan sejenisnya tidak akan di tampilkan.
Jangan lupa tinggalkan jejak dengan berkomentar :)